Archive for the ‘my own’ Category

Tiga Agama Satu Tuhan

September 23, 2006

Ramadhan datang lagi. Koran kampus Northern Star yang diterbitkan mahasiswa kampus saya NIU hari Jumat kemarin menampilkan dua berita yang oleh redaktur koran mahasiswa itu ditempatkan persis bersebelahan. Yang satu judulnya “Jewish, Muslim students prepare for holidays”. Berita satu lagi judulnya “ Islam’s Ramadan begins next week”.

Berita pertama mengabarkan bahwa mahasiswa Muslim dan Yahudi sedang bersiap-siap memasuki hari-hari sucinya. Ya, tahun ini Ramadan dimulai hampir tepat bersamaan dengan perayaan Rosh Hashanah, perayaan tahun baru Yudaisme, agama Yahudi. Tradisi Rosh Hashanah sepertinya sama dengan Idul Fitri. Yang disebut Rosh Hashanah dimulai setelah matahari terbenam hari Jumat, hingga malam hari Minggu. Selama tiga hari itu, mereka berkumpul bersama keluarga, sehingga ada juga tradisi mudik seperti kita saat Lebaran setelah puasa Ramadan di Indonesia.

Setelah tiga hari Rosh Hashanah, selama sepuluh hari berikutnya adalah hari-hari saling memaafkan, dimana mereka berusaha minta maaf secara langsung kepada orang-orang yang pernah mereka rugikan atau yang pernah dilukai perasaannya. Setelah selesai sepuluh hari itu, tanggal 1 Oktober adalah hari raya lain lagi, namanya Yom Kippur. Hari itu adalah hari urusan ‘vertikal’, minta ampun pada Tuhan, setelah minta maaf ‘horizontal’ pada sesama manusia dilakukan selama sepuluh hari sebelumnya. Hal ini sepertinya tidak berbeda dengan ajaran Islam: Tuhan tidak memaafkan kesalahan kita terhadap orang lain, kecuali setelah kita meminta dan mendapat maaf secara langsung dari orang yang bersangkutan.

Berita yang kedua, isi seluruhnya tentang Ramadan. Northern Star mewawancarai wakil-wakil dari Muslim Student Association-nya NIU. Tentang puasa Ramadan, apa hakikatnya, dan bagaimana puasa Ramadan dijalankan, serta tentang Idul Fitri. Sekalian dimuat pengumuman aktifitas Ramadan yang akan dilakukan MSA di kampus kami, namanya fast-a-thon, yang di dalamnya akan ada pengumpulan dana, dan mungkin juga buka puasa bersama yang turut mengundang mahasiswa dan para profesor yang non-Muslim untuk hadir. Tradisi semacam ini banyak dilakukan di kampus-kampus lain di Amerika. Ada teman di Stanford Uni tahun lalu menceritakan bagaimana banyak anggota komunitas kampusnya yang non-Muslim yang hadir dalam acara buka puasa bersama yang diadakan beberapa kali selama Ramadan tahun itu. Malah ikut puasa juga.

Saya baca penulis dua berita ini adalah reporter Northern Star dari desk yang mereka namakan diversity beat. Rupanya, Northern Star punya desk khusus untuk masalah-masalah diversity. Salah satu hasilnya, ya berita bersebelahan mengenai hari-hari suci dua agama itu, yang di berbagai tempat lain di dunia terlibat konflik tiada henti turun temurun.

Rupanya koran mahasiswa kampus saya ini memiliki komitmen untuk menjadi public space, tempat keberagaman dirayakan. Membaca dua berita itu menyejukan, mengalahkan potensi emosional dari dua tulisan lain, yang juga dimuat oleh Northern Star hari itu juga. Yang pertama tentang berkumpulnya 1000 orang ulama dan intelektual Muslim di Pakistan menuntut agar Paus Benedict XVI dicopot dari ke-Paus-annya setelah ceramah kontroversialnya di Jerman beberapa waktu lalu. (hmm….sepertinya menuntut komunitas agama lain untuk mengganti pemimpinnya terlalu berlebihan…)

Berita satu lagi sebetulnya adalah surat pembaca, tetapi cukup panjang. Penulisnya memprotes koran Northern Star yang sebelumnya mengkritisi juga Paus Benedict XVI atas pernyataan kontroversial di Jerman itu. Penulis surat pembaca itu menganjurkan redaktur Northern Star untuk membaca lengkap ceramah Paus Benedict XVI, yang katanya berisi juga kritik keras Paus terhadap Barat, dan artinya otokritik terhadap Kristen/Katolik.

Well, saya lebih tertarik pada co-existence, hidup damai berdampingan. Seperti dua berita bersebelahan di Northern Star tentang Rosh Hashanah – Yom Kippur dan Ramadan – Idul Fitri itu.

Omong-omong soal co-existence, di Chicago ada sebuah jalan di daerah Devon, dimana toko-toko daging halal berada. Uniknya, jalan di Devon itu tidak hanya menjadi tempat adevon.jpg

toko-toko penjual daging halal milik dan untuk komunitas Muslim. Ada banyak juga toko-toko daging ‘halal’ milik dan untuk komunitas Yahudi, alias kosher (orang Yahudi tidak sembarangan makan daging). Selain toko daging, juga ada banyak restoran shabiha (daging halal) milik Muslim, dan banyak restoran daging kosher yang dimiliki dan dikunjungi orang Yahudi. Lebih meriah lagi, ada juga toko-toko India (Hindu?), mulai dari toko kain, restoran dan barang-barang kelontong ala India. Toko-toko dan restoran dari komunitas agama dan etnik berbeda ini terletak berdampingan sepanjang jalan di Devon.

Sekali waktu di Devon, saya berjalan melewati sebuah restoran yang hanya menyediakan daging dari kosher milik orang Yahudi. Di etalasenya dipasang sebuah poster besar. Saya berhenti di depan etalase untuk membaca poster itu. Lewat poster itu si pemilik restoran mengecam Israel atas segala tindak tanduknya terhadap Palestina. Ada banyak juga memang orang Yahudi yang tidak suka dengan Israel.

Yahudi memang tidaklah identik dengan Israel. Israel adalah entitas ideologi yang lahir dari gerakan politik Zionisme, sementara Yahudi adalah atribut etnik-relijius. Kita toh tidak bisa memilih apakah akan terlahir sebagai orang Yahudi atau orang Jawa, misalnya. Tapi tentu kita bisa memilih untuk tidak setuju dengan pilihan politik tertentu seperti Israel itu. Karena, sekali lagi, Israel adalah konsep mengenai sebuah entitas ideologi politik. Malah ada gerakan Yahudi Amerika, namanya Not In Our Name. LSM Yahudi Amerika ini sangat tidak setuju pemerintah Israel yang sepertinya selalu mengatasnamakan agama Yahudi. Soal ini, mereka yang mendalami studi social movement tahu bahwa Amerika memiliki banyak case menarik untuk bahan studi karena kultur partisipasi politik yang tinggi melahirkan beragam jenis kelompok kepentingan (interest group).

Kembali ke Devon, di sana dengan mudah ditemui pemandangan unik. Ulama bersorban dan berjanggut panjang lalu lalang, berpapasan adem ayem dengan rabi-rabi Yahudi dengan topi tinggi dan jas hitamnya, juga dengan janggut panjang (waktu masih gandrung dengan bacaan-bacaan kiri selagi kuliah di Bandung dulu, teman-teman sering bercanda bahwa Karl Marx juga patut dianggap sebagai nabi karena Marx juga berjanggut panjang…he..he). Islam, Kristen, Yahudi sejatinya adalah agama Ibrahim yang monoteis. Saya jadi ingat sebuah buku terbitan Mizan yang membahas ini. Judulnya adalah “Tiga Agama Satu Tuhan”.

Music and food: What else do we need?

September 17, 2006

I just added two blogrolls here. One is a blog about the Rockstar Supernova show, a summer-long reality show on CBS searching for new rockstars that has just finished. Among the juries in the show are Tommy Lee of Motley Crue and Jason Newstead the former bassist of Metallica. Those who missed the show can watch videos of selected performances of the contestants that are made available in the blog. I put it under ‘miscellaneous’ category.

Another link is on the culinary experience of Ari Margiono, a friend of mine, in Jakarta. He just started a new blog. It’s gonna be an inspiring blog i believe. I like the idea of writing down our experience (and thinking) in finding new (and old too) interesting eating places everywhere. Ono is right in telling me that there are always long philosophical and historical stories behind every food we eat everyday.

In fact, if time and budget allow, I would like to visit Burma one day. Burmese food must be great. We know that Burma is surrounded by countries with great foods (and great civilizations): China, India and Thailand. I suspect, Burmese food is sort of a mixture of the great taste of Chinese, Indian and Thai foods. Yummy…

CSIS and the Burma Issue

September 12, 2006

On Sept 5th, CSIS (a private think tank  I have been working for) in Jakarta held a public seminar on the struggle for democracy in Burma (now known as Myanmar). The Myanmar Embassy wrote a letter to the editor of the Jakarta Post accusing CSIS of inviting and hosting a terrorist group to that seminar. The Embassy was referring to NCGUB, a government in exile of Burma, that has been struggling to bring democracy back to the country. Below is the response from CSIS signed by Dr. Hadi Soesastro, the Executive Director. I also attach the original letter from the Embassy, which was published by the Jakarta Post.
pjv

——

Myanmar/Burma Issue:
CSIS & AIPMC responds

September 11, 2006With reference to the letter from the Myanmar Embassy to The Jakarta Post, dated Sept. 5, a copy of which was sent to us, we would like to comment as follows.On Sept. 5, the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC) jointly organized and hosted an event, with the Center for Strategic and International Studies (CSIS), aimed at promoting awareness and creating discourse on the political and human rights situation in Myanmar.Among the list of speakers invited to address the event was Sann Aung, an elected member of parliament of Myanmar, voted-in by the Myanmarese people during its last general elections in 1990, and a member of the National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB).He is also a member of Myanmar’s leading political party, National League for Democracy (NLD), which secured a landslide victory during the same elections. Sann Aung represents the views of the Myanmarese people seeking freedom and democracy and also the views of Daw Aung San Suu Kyi, a Nobel Peace Prize Laureate and an internationally recognized and respected advocate of peace and democracy.AIPMC and CSIS, in its sincere neighborly interest of seeing a free and democratic Myanmar, choose to work with all parties including the Myanmarese elected parliamentarians-in-exile. Their views, as legitimately elected representatives of the Myanmarese people, are a necessity in pursuing an agenda for political reform in Myanmar.We also continue to firmly call for the cessation of any form of violence and terror in Myanmar and have always demanded for an end to human rights violations by any institution within and without the country.AIPMC and CSIS certainly do not collaborate with terrorists or any other forces of violence and refute those charges vehemently. The Myanmarese elected members of parliament are not terrorists, nor are thousands of other Myanmarese volunteers seeking democratic changes.The NCGUB’s espousal for a peaceful and sustainable political solution to the situation in Myanmar, deserves broader support from the rest of us in the ASEAN region.

The real enemies of the Myanmarese people or “terrorists” — if one wants to insist on using the term — are the military generals of the State, Peace and Development Council (SPDC), who continue to deny the aspirations of the people of Myanmar.

DATUK ZAID IBRAHIM Chairperson AIPMC

HADI SOESASTRO Executive Director CSIS Jakarta

—————————–

Myanmar protests

On Tuesday, Sept. 5, the Center for Strategic and International Studies (CSIS) office in Jakarta, hosted a public seminar on Myanmar and, to our surprise, one of the discussants happened to be from a terrorist group named the National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB).

The NCGUB and also its leader were declared terrorists by the government of the Union of Myanmar in April for committing atrocious acts against the nation and the people such as planting and blasting bombs, manufacturing fabricated news stories designed to undermine national unity, exaggeration of news stories in order that the government may be misunderstood in various sectors and, providing cash assistance and masterminding destructive acts with the intention of causing bloodshed and panic among the people.

We were saddened to learn that such a prestigious forum in Indonesia, a country fighting terrorism and continuously improving her capability in combating terrorism, paid credence and dignity to an organization based on terrorism.

SOE LWIN Information Officer Myanmar Embassy Jakarta

——————————

Sann Aung comments

We are not surprised that the Myanmarese Embassy in Jakarta has reacted strongly to the presence of the National Coalition Government of the Union of Burma (NCGUB) delegate at the “Public Seminar on Myanmar” in Jakarta. What was surprising, however, was the way it reacted.

Since its inception, the NCGUB, a government in exile, has solely been a political entity firmly committed to upholding nonviolence and peaceful political change which is the main policy directive of Nobel Peace Laureate Daw Aung San Suu Kyi and the National League for Democracy. None of its members are involved in armed or terrorist activities.

Lest the Myanmarese military regime should forget, we are representatives legitimately elected and mandated by the people of Myanmar to restore democracy and human rights in the country. Unlike the Myanmarese generals, we do not terrorize the ethnic people, or deny people of their right to choose their own destiny, or instill fear in the country with widespread human rights abuses. It is time for the Myanmarese generals to stop the name calling and starting thinking about resolving the socioeconomic and political problems of Myanmar through political dialog.

Our commitment to change through a dialog participated in by all stakeholders in the country is well known and we continue to look forward to the day the Myanmarese generals will come to their senses and join the negotiating table.

Our presence at the seminar in Jakarta had also been to deliver our message of hope and peace for Myanmar as well as the region as a whole, and our visit not only to Jakarta but also to another ASEAN country, Cambodia, have been very successful because of the understanding, friendship, and cordiality of the people of Cambodia and Indonesia.

We remain profoundly grateful to them and we look forward to stronger bonds of friendship, understanding, and support from the leaders and people of all ASEAN countries in our efforts to pursue democracy through peaceful means in Myanmar.

SANN AUNG Elected Representative Member of the NCGUB Myanmar

Corn Fest dan Bacaan Kuliah Minggu Pertama

September 10, 2006

Kuliah sudah berjalan lagi dua minggu. Semester musim gugur, setelah tiga bulan libur panjang musim panas sejak Mei. Kembali pada rutinitas: kelas, paper, readings, diskusi.

Sehari sebelum kuliah mulai lagi, kebetulan di Dekalb ada acara tahunan yang namanya lucu: Corn Fest. Daerah Dekalb memang salah satu penghasil jagung utama di daerah Midwest. Dalam tiap Corn Fest, pasti ada konser musik. Tahun ini yang konser adalah band musik rock, namanya Survivor.

Mereka yang besar tahun 1980-an, pasti kenal band ini. Banyak lagunya menjadi hit klasik. Misalnya Eye of the Tiger, yang dulu dijadikan theme song film Rocky yang dibintangi Silvester Stallone itu. Juga ada Search is Over, lagu balada rock. Survivor menyanyikan lagu-lagu klasik mereka itu. Masih bagus, walaupun sudah pada berumur.

asurvivor.jpg    Suara penyanyinya indah sekali. Sayang, Survivor tidak memainkan satu lagu favorit saya yang judulnya Man Against the World. Padahal itu lagu yang saya tunggu-tunggu. Dulu ketika masih di Jakarta, saya sering request ke radio M97FM, radio rock klasik itu. Minta diputarkan lagu Man Against the World. Si Ifeb yang siaran pagi, atau Bipi yang siaran sore selalu nggak bisa memenuhi permintaan itu. Katanya mereka nggak punya (sekarang M97FM sudah bubar, frekuensinya digunakan sebuah radio dangdut…sayang sekali… radio M97FM kocak betul, penyiarnya dan pendengarnya sama-sama orang gila semua, hiburan di jalan yang macet menuju atau pulang kantor he..he). Yang suka memutar lagu Man Against the World adalah Kiss FM, itu juga waktu si Bipi masih siaran di sana, sebelum dia pindah jadi penyiar di M97FM.

Kelebihan band-band tahun 1980-an (juga 70-an atau sebelumnya) adalah performa mereka yang bagus di panggung. Tidak ada perbedaan antara versi rekaman dan live show: kualitas permainan musik dan vokalis nya sama. Mungkin karena mereka dulu tidak terlalu bergantung pada teknologi mixing sound ala studio rekaman masa kini. Mungkin grup 90-an yang rekaman dan kualitas live show-nya sama cuma Guns N’Roses (GNR) dan Axl Rose yang dahsyat suaranya itu. Sayang GNR juga bubar.

Di samping kemajuan luar biasa yang dimunculkannya, teknologi modern mungkin juga menghadirkan banyak hal instant, diantaranya dalam dunia seni suara. Sekali waktu di tv saya pernah lihat live show Hoobastank, grup musik kontemporer yang terkenal dan banyak digemari anak-anak muda sekarang karena lagunya yang berjudul The Reason itu. Musiknya berantakan, vokalisnya kentara jauh sekali suaranya dari versi rekaman.

Atau masih ingat heboh duo penyanyi Milli Vanili di akhir tahun 1990? Saya masih ingat lagu Blame it On the Rain atau I’m Gonna Miss You. Duo penyanyi itu menipu dunia, karena mereka hanya merekam suara grup lain, dan menjualnya atas nama mereka berdua. Didukung oleh mafia industri rekaman untuk mencari untung. Kepalsuan mereka tercium saat mereka harus tampil live show. Lagi seru-serunya manggung (menipu), rekaman yang dimainkan di belakang panggung mati mendadak, ketahuan aslinya…he..he. Jutaan orang di seluruh dunia yang menggemari Mili Vanilli (termasuk saya ..he..he), langsung membakar atau membuang kaset Mili Vanilli ke tong sampah. Band asli yang menciptakan dan menyanyikan lagu Mili Vanilli kemudian tampil, sempat membuat rekaman, tapi tidak populer.

Menyangkut soal teknologi dan modernisme, dua kuliah wajib saya semester ini adalah Comparative Politics Theory dan International Relations Theory. Karena keduanya mata kuliah teori, kami harus menelan bacaan klasik dari awal tahun 1950/60-an saat kedua disiplin ini (CP dan IR) berkembang pesat, hingga bacaan kontemporer. Bacaan-bacaan kuliah CP mengandaikan sistem politik modern, sementara bacaan IR untuk dua minggu pertama kemarin sebaliknya: membahas kembalinya literatur HI ke sejarah masa lalu.

Dua minggu pertama bacaan IR mendiskusikan the English School, pemikiran IR non-Amerika, yang memang sangat kritikal terhadap bacaan IR saat ini yang mereka nilai sangat American-centric dan didominasi paradigma realisme. Mereka menolak asumsi realisme/neo realisme dan kecenderungan behavioralis dan positivistik yang dominan di Amerika. Serangan utama dari English School adalah bahwa asumsi realisme dan neo-realisme yang mendominasi literatur IR tidaklah valid, dan bukanlah sesuatu yang given. Maka English School banyak menganjurkan para ilmuwan HI untuk kembali mengkaji sejarah sebelum sistem nation-state terbentuk, untuk mendapatkan gambaran bahwa ada sistem/pemahaman lain diluar paradigma dominan realisme/neo-realisme dalam IR lima puluh tahun terakhir.

Salah satu professor di kampus saya, dulu menulis disertasinya tentang IR di Asia Timur di masa kekaisaran China. Dia dibimbing oleh John Mearsheimer, realis sejati, professor IR di University of Chicago. Saya belum baca disertasinya, apakah dia mendukung English School atau membantah argumentasinya. Yang jelas temuan dia adalah, berbeda dengan pola hegemoni ala realisme dalam politik internasional kontemporer, di masa kekaisaran Cina dulu polanya adalah hierarki, bukan hegemonik. Ada banyak hal yang bisa dikembangkan dari temuan ini.

Juga ada ilmuwan Inggris Robert Cox yang pernah menulis paper dengan judul The Relevance of Ibn Khaldun’s Thoughts in Contemporary World Order. Ibnu Khaldun adalah ilmuwan besar Muslim yang hidup di abad ke 13, yang oleh Arnold Toynbee (sosiolog/historian besar Amerika) disebut sebagai bapak ilmu sejarah. Gara-gara membaca Robert Cox saat kuliah S-2 di Australia dulu, saya mencari buku Mukaddimah karya Ibnu Khaldun itu di toko buku (di library sih ada, tapi saya ingin memilikinya). Karena di Australia saat itu sedang out of print, toko buku di kota tempat saya belajar dulu harus memesannya ke Inggris, baru dua bulan kemudian buku itu datang.

Memang banyak pengkritik realisme/neo-realisme yang menganjurkan untuk melakukan penelitian ke zaman Medieval Eropa sekitar abad 13 atau 14, sebelum Renaissance. Salah satu bacaan kami di kuliah minggu lalu adalah tulisan Markus Fischer di jurnal International Organization (IO). Judulnya adalah Feudal Europe, 800-1300: Communal Discourse and Conflictual Practices.

Dari awal hingga hampir akhir, tulisan Fischer sepertinya simpatik pada critical theory (salah satu basis English School). Dia mengkaji Medieval Society, masyarakat abad pertengahan, di Eropa. Ternyata di halaman-halaman akhir dia menyerang English School (atau lebih tepatnya critical theory), dan mengukuhkan realisme/neorealisme. Sebetulnya ketika mulai baca, saya sudah curiga juga, karena di footnote awal yang berisi acknowledgment tertera ucapan terimakasih pada Mearsheimer dan Walt, dua ilmuwan HI pengusung realisme. Lagipula, IO adalah jurnal terkemuka Amerika yang hampir pasti di dominasi oleh pandangan realisme.

Ngomong-ngomong soal medieval society, di kota tempat saya belajar, minat untuk mengetahui seperti apa kehidupan medieval society di Eropa ini cukup tinggi. Ada klub yang mempelajari dan memainkan olahraga abad pertengahan, seperti bertarung dengan tombak panjang untuk menjatuhkan lawan sembari menunggang kuda (di masa aslinya sih itu bukan permainan, tapi pertempuran hidup mati). Mereka berkumpul tiap pekan.

Bahkan di kampus saya, saya baru tahu juga ada kelompok mahasiswa penggemar olahraga medieval ini. Kemarin saya melewati kompleks dormitory yang sebagian besar dihuni freshmen alias anak-anak baru semester satu atau dua. Di halaman depan saya lihat ada ramai-ramai, mereka berkumpul dan bersorak sorai. Rupanya mereka sedang memainkan pertarungan dengan tongkat panjang seperti tombak itu. Ramai sekali. Ketika saya makin dekat, baru kelihatan mereka memang sedang bertarung dengan tongkat panjang. Pemainnya tidak menunggang kuda, tapi menunggang temannya sendiri alias digendong sambil berlari…ha..ha..ha. Ada-ada saja. Kuda tak ada, teman saja ditunggangi.

Cak Munir

September 9, 2006

Tulisan ini aslinya saya buat dua tahun lalu, saat mendapat kabar meninggalnya Munir dalam pesawat yang membawanya menuju Amsterdam. Langsung saya tulis, dan kirim via fax ke kantor Cak Munir, Imparsial, di Jakarta. Juga saya kirim ke beberapa teman yang mengenal Cak Munir dari dekat. Pernah juga saya post di blog ini.

Kini, dua tahun kemudian, kematian Cak Munir belum tuntas dibongkar, membuktikan masih jauhnya kita dari transparansi atas instrumen-instrumen kekerasan negara.

Saya post lagi tulisan lama ini, untuk menandai dua tahun kabut gelap kematian Cak Munir, agar saya (kita) tidak pernah lupa. Cak Munir sekali waktu pernah bilang pada saya, mengutip seorang pemikir politik, bahwa ‘perjuangan melawan otoritarianisme adalah perjuangan melawan lupa’.

pjv
————————–

Only The Good Die Young: Tiga Keping Kenangan Saya Tentang Munir

Akhirnya, saya mengalahkan keraguan untuk menulis kenangan pribadi saya tentang Cak Munir. Bukan apa-apa, tentunya ada banyak orang lain yang jauh lebih dekat dan lebih pantas untuk menulis kenangan tentang almarhum. Rasanya tidak pantas kalau saya menulis kenangan pribadi ini. Tapi, karena keinginan dan penghormatan yang begitu kuat atas almarhum, saya memberanikan diri membuat serpihan kecil ini sebagai kenangan untuk Cak Munir.

***

Kepingan kenangan pertama, seingat saya, terbentuk tahun 2002. Saat itu, saya pertama kalinya terlibat dengan diskusi serius dengan Cak Munir. Teman-teman di INCIS (Institute for Civil Society Studies) yang didirikan para mantan aktifis mahasiswa UIN Ciputat mengundang saya hadir sebagai pembicara dalam sebuah seminar, dipasangkan dengan Cak Munir dan seorang petinggi TNI. Acara berlangsung di Jakarta Design Center, di daerah Slipi dengan topik berkisar soal hubungan sipil militer. Saya antusias, sebagai pemula dalam dunia perdiskusian karena belum lama bergabung dengan CSIS di pertengahan tahun 2001, dipasangkan dengan Munir. Hingga hari itu, Cak Munir hanya saya kenal lewat tulisan dan opininya di berbagai media massa. Dalam seminar, saya sungguh terpukau dengan kedalaman dan ketajaman analisisnya atas beragam persoalan. Dia juga seorang yang straight forward, bicara langsung pada tujuannya.

Dihadapannya, hari itu, saya betul-betul merasa tidak tahu apa-apa. Dari Cak Munir, hari itu juga, saya belajar tentang keteguhan dan kesungguhan untuk mendalami persoalan. Usai seminar, iseng-iseng saya bertanya kepadanya: “Mas, sampeyan kok kayak tidak punya rasa takut?”. Munir tertawa kecil, dia bilang: “Bung, tubuh kita ini ternyata punya mekanisme tersendiri dalam mengatasi rasa sakit. Aku, waktu masih di Malang dulu, pernah diintegorasi aparat plus penyiksaannya. Lima menit pertama badan memang terasa sakit, tapi sesudah lima menit sakitnya sudah ndak terasa” kata Munir sambil terkekeh. “Lah, kalau sudah begitu, buat apa lagi rasa takut?”lanjutnya sambil tersenyum.

***

Kepingan kenangan kedua terjadi kurang lebih tiga atau empat minggu lalu. Suatu sore, Andi Widjadjanto (dosen di Universitas Indonesia), dan Smita Notosusanto (CETRO) menelpon saya. Rupanya, Andi yang seharusnya menjadi pembicara pendamping dalam sebuah diskusi live di radio Trijaya hari itu, mendadak ada keperluan lain. Keduanya meminta saya untuk menjadi pengganti. Tema-nya seputar RUU TNI yang kontroversial itu. Saya diminta menggantikannya. Ternyata, lagi-lagi saya berpasangan dengan Cak Munir. Saya mengiyakan permintaan itu dan langsung terbirit-birit berangkat dari CSIS di bilangan Tanah Abang III menuju studio radio Trijaya di komples RCTI di kawasan Joglo. Diskusi cukup hangat, walaupun sebenarnya jadi lucu. Karena kami berdua sama-sama orang “beriman” untuk urusan keyakinan perlunya menempatkan militer dibawah kontrol otoritas sipil. Di tengah break iklan, saya yang sudah mendengar rencana Cak Munir meneruskan studi di Belanda, bilang pada dia: “Cak, gimana ini. Sampeyan mau ke Belanda, tapi pasti masih dibutuhkan di sini. RUU TNI ini kan masalah besar”. Munir hanya tertawa, dia bilang: “Philips, masalah begini akan selalu muncul, bahkan dari dulu”. “Kalau nurutin problem ini, saya ndak akan jadi-jadi berangkat sekolah”. Aal, rekan dari Imparsial yang menemani Cak Munir malam itu juga tersenyum.

Acara berlangsung jam 7 sampai jam 9 malam. Begitu selesai, kami bersama-sama keluar studio. Munir tampak masih segar, dia menggamit lengan saya. “Bung, jangan lama-lama di sini. Satu episode kehidupan barusan sudah selesai, ayo segera pergi untuk menangani episode yang lain”, katanya bersemangat. Saya sungguh tercekat mendengar ini. Ujaran Munir ini membuka pemahaman saya yang baru tentang dirinya. Bahwa Munir adalah seseorang yang committed untuk setiap persoalan, dan selalu siap menghadapi persoalan baru.

Saya sempat lama-lama berpikir, dimana lagi saya pernah mendengar “ajakan”serupa dengan Munir itu. Akhirnya saya ingat, sebagai muslim, Tuhan pernah berfirman dalam surah Alam Nasyrah (Al Ishrak) yang kurang lebih artinya adalah: “dan begitu selesai dengan satu urusan, bersegeralah kamu mengerjakan urusan yang lain”. Cak Munir, saya yakin, adalah orang yang menghayati agamanya tanpa pernah sibuk mengeluarkan teori agama. Setiap muslim juga tahu akan sebuah ajaran yang menyebutkan bahwa setiap langkah yang membawa seseorang lebih dekat kepada ilmu pengetahuan merupakan ibadah luar biasa di mata Tuhan. Dan Munir sedang melakukan itu ketika Tuhan memanggilnya pulang. Ia sedang dalam perjalanan menempuh ribuan kilometer, melintas zona waktu yang berbeda, dari Jakarta ke Amsterdam, untuk mencari ilmu pengetahuan. Ia berniat mereguk ilmu dari fountain of knowledge di kampus-kampus dan perpustakaan-perpustakaan di negeri Belanda dan juga mungkin Eropa.

***

Kepingan kenangan ketiga terjadi seminggu lalu, kali ini tanpa Munir. Kamis pekan lalu saya berada di kampus Sorbornne Paris, menghadiri sebuah konferensi tentang Asia Tenggara. Malamnya, seusai presentasi, saya bersama M. Najib Azca yang mengajar di Fisipol UGM dan Gerry van Klinken, ahli Indonesia yang lama mengajar di Australia dan sekarang bergabung dengan KITLV di Belanda, pergi makan malam di sebuah restoran Asia, dekat gereja Notre Damme di Paris yang indah. Usai makan, Gerry mengajak kami mencari kedai kopi untuk melanjutkan obrol-obrol soal Indonesia. “Saya yang traktir”, katanya. Najib kebetulan pernah membaca dalam sebuah buku panduan, bahwa disekitar Sorbornne tempat kami menginap, ada sebuah café yang dulunya merupakan tempat minum kopi favoritnya Sartre, Picasso dan juga Hemingway.

Setelah mencari-cari dengan berjalan kaki, kami menemukan tempat itu. Terletak diperpotongan rue Bonaparte dan Saint-Michel yang membelah kota Paris. Di seberang café berdiri tegak sebuah gereja tua. Jadilah kami ngobrol berbagai hal disana. Sampai suatu waktu, terpikir oleh saya tentang Munir yang akan segera berangkat ke negeri Belanda. ” Gerry, sudah tahu Munir akan sekolah ke Belanda minggu depan?”, kata saya. Gerry van Klinken tampak antusias mendengar kabar ini. “Ah, jadi juga Munir berangkat sekolah lagi?”tanyanya. Lalu kepadanya saya mengulang pernyataan yang pernah saya sampaikan pada Munir di studio Trijaya dulu, tentang Munir yang perannya di Indonesia sangat dibutuhkan dalam wacana soal RUU TNI dan juga masa-masa penting pemilu saat ini.

Rupanya, respons Gerry van Klinken juga kurang lebih senada dengan jawaban Munir kepada saya dulu. “Masalah militer dalam politik di Indonesia masih akan selalu muncul. Jadi, memang kalau sekolah lagi akan bagus buat Munir dan juga mungkin akan bagus untuk gerakan HAM di Indonesia. Aura Munir sangat kuat, kalau dia pergi sebentar dan tidak berada di Indonesia, akan bagus untuk kaderisasi aktifis HAM di Indonesia”. “Sama seperti ketika Munir menyerahkan organisasi Kontras kepada mereka yang lebih muda”, begitu kata Gerry van Klinken.

Saya pikir betul juga. Untuk beberapa jenak lamanya, saya tidak memperhatikan lagi diskusi kami yang berpindah ke soal Ambon. Saya malah lantas membayangkan suasana dinamis dan diskusi-diskusi intensif antar mahasiswa asal Indonesia di Eropa umumnya, dan Belanda khususnya, yang akan semakin muncul dengan kehadiran Munir disana, untuk berbagi pemikiran, pemahaman dan pengalaman serta belajar bersama. Tapi Tuhan berkehendak lain.

***
Kemarin, ketika kabar berpulangnya Munir dikonfirmasi oleh kawan-kawan di Imparsial, rasa kehilangan yang amat sangat segera mendera. Terbayang oleh saya, rasa yang sama lebih dalam lagi menimpa orang-orang yang lebih dekat lagi dengan Munir daripada saya yang kadar hubungan dengan Munir biasa-biasa saja. Rasa haru yang aneh menyeruak dalam diri, di mobil dalam perjalanan pulang menuju ke rumah dari kantor. Radio M97FM, radio khusus musik rock klasik favorit saya, sedang mengudarakan lagu-lagu rock. Terpikir oleh saya sebuah lagu yang dilengkingkan oleh Bruce Dickinson, vokalis grup band heavy metal Iron Maiden yang terkenal pada era 1980-an itu: “Only the good die young….and the evil seems to live forever….only the good die young…”. Cak Munir, selamat jalan!

Philips J Vermonte
Tanah Abang III, 8 September 2004.