Ramadhan datang lagi. Koran kampus Northern Star yang diterbitkan mahasiswa kampus saya NIU hari Jumat kemarin menampilkan dua berita yang oleh redaktur koran mahasiswa itu ditempatkan persis bersebelahan. Yang satu judulnya “Jewish, Muslim students prepare for holidays”. Berita satu lagi judulnya “ Islam’s Ramadan begins next week”.
Berita pertama mengabarkan bahwa mahasiswa Muslim dan Yahudi sedang bersiap-siap memasuki hari-hari sucinya. Ya, tahun ini Ramadan dimulai hampir tepat bersamaan dengan perayaan Rosh Hashanah, perayaan tahun baru Yudaisme, agama Yahudi. Tradisi Rosh Hashanah sepertinya sama dengan Idul Fitri. Yang disebut Rosh Hashanah dimulai setelah matahari terbenam hari Jumat, hingga malam hari Minggu. Selama tiga hari itu, mereka berkumpul bersama keluarga, sehingga ada juga tradisi mudik seperti kita saat Lebaran setelah puasa Ramadan di Indonesia.
Setelah tiga hari Rosh Hashanah, selama sepuluh hari berikutnya adalah hari-hari saling memaafkan, dimana mereka berusaha minta maaf secara langsung kepada orang-orang yang pernah mereka rugikan atau yang pernah dilukai perasaannya. Setelah selesai sepuluh hari itu, tanggal 1 Oktober adalah hari raya lain lagi, namanya Yom Kippur. Hari itu adalah hari urusan ‘vertikal’, minta ampun pada Tuhan, setelah minta maaf ‘horizontal’ pada sesama manusia dilakukan selama sepuluh hari sebelumnya. Hal ini sepertinya tidak berbeda dengan ajaran Islam: Tuhan tidak memaafkan kesalahan kita terhadap orang lain, kecuali setelah kita meminta dan mendapat maaf secara langsung dari orang yang bersangkutan.
Berita yang kedua, isi seluruhnya tentang Ramadan. Northern Star mewawancarai wakil-wakil dari Muslim Student Association-nya NIU. Tentang puasa Ramadan, apa hakikatnya, dan bagaimana puasa Ramadan dijalankan, serta tentang Idul Fitri. Sekalian dimuat pengumuman aktifitas Ramadan yang akan dilakukan MSA di kampus kami, namanya fast-a-thon, yang di dalamnya akan ada pengumpulan dana, dan mungkin juga buka puasa bersama yang turut mengundang mahasiswa dan para profesor yang non-Muslim untuk hadir. Tradisi semacam ini banyak dilakukan di kampus-kampus lain di Amerika. Ada teman di Stanford Uni tahun lalu menceritakan bagaimana banyak anggota komunitas kampusnya yang non-Muslim yang hadir dalam acara buka puasa bersama yang diadakan beberapa kali selama Ramadan tahun itu. Malah ikut puasa juga.
Saya baca penulis dua berita ini adalah reporter Northern Star dari desk yang mereka namakan diversity beat. Rupanya, Northern Star punya desk khusus untuk masalah-masalah diversity. Salah satu hasilnya, ya berita bersebelahan mengenai hari-hari suci dua agama itu, yang di berbagai tempat lain di dunia terlibat konflik tiada henti turun temurun.
Rupanya koran mahasiswa kampus saya ini memiliki komitmen untuk menjadi public space, tempat keberagaman dirayakan. Membaca dua berita itu menyejukan, mengalahkan potensi emosional dari dua tulisan lain, yang juga dimuat oleh Northern Star hari itu juga. Yang pertama tentang berkumpulnya 1000 orang ulama dan intelektual Muslim di Pakistan menuntut agar Paus Benedict XVI dicopot dari ke-Paus-annya setelah ceramah kontroversialnya di Jerman beberapa waktu lalu. (hmm….sepertinya menuntut komunitas agama lain untuk mengganti pemimpinnya terlalu berlebihan…)
Berita satu lagi sebetulnya adalah surat pembaca, tetapi cukup panjang. Penulisnya memprotes koran Northern Star yang sebelumnya mengkritisi juga Paus Benedict XVI atas pernyataan kontroversial di Jerman itu. Penulis surat pembaca itu menganjurkan redaktur Northern Star untuk membaca lengkap ceramah Paus Benedict XVI, yang katanya berisi juga kritik keras Paus terhadap Barat, dan artinya otokritik terhadap Kristen/Katolik.
Well, saya lebih tertarik pada co-existence, hidup damai berdampingan. Seperti dua berita bersebelahan di Northern Star tentang Rosh Hashanah – Yom Kippur dan Ramadan – Idul Fitri itu.
Omong-omong soal co-existence, di Chicago ada sebuah jalan di daerah Devon, dimana toko-toko daging halal berada. Uniknya, jalan di Devon itu tidak hanya menjadi tempat
toko-toko penjual daging halal milik dan untuk komunitas Muslim. Ada banyak juga toko-toko daging ‘halal’ milik dan untuk komunitas Yahudi, alias kosher (orang Yahudi tidak sembarangan makan daging). Selain toko daging, juga ada banyak restoran shabiha (daging halal) milik Muslim, dan banyak restoran daging kosher yang dimiliki dan dikunjungi orang Yahudi. Lebih meriah lagi, ada juga toko-toko India (Hindu?), mulai dari toko kain, restoran dan barang-barang kelontong ala India. Toko-toko dan restoran dari komunitas agama dan etnik berbeda ini terletak berdampingan sepanjang jalan di Devon.
Sekali waktu di Devon, saya berjalan melewati sebuah restoran yang hanya menyediakan daging dari kosher milik orang Yahudi. Di etalasenya dipasang sebuah poster besar. Saya berhenti di depan etalase untuk membaca poster itu. Lewat poster itu si pemilik restoran mengecam Israel atas segala tindak tanduknya terhadap Palestina. Ada banyak juga memang orang Yahudi yang tidak suka dengan Israel.
Yahudi memang tidaklah identik dengan Israel. Israel adalah entitas ideologi yang lahir dari gerakan politik Zionisme, sementara Yahudi adalah atribut etnik-relijius. Kita toh tidak bisa memilih apakah akan terlahir sebagai orang Yahudi atau orang Jawa, misalnya. Tapi tentu kita bisa memilih untuk tidak setuju dengan pilihan politik tertentu seperti Israel itu. Karena, sekali lagi, Israel adalah konsep mengenai sebuah entitas ideologi politik. Malah ada gerakan Yahudi Amerika, namanya Not In Our Name. LSM Yahudi Amerika ini sangat tidak setuju pemerintah Israel yang sepertinya selalu mengatasnamakan agama Yahudi. Soal ini, mereka yang mendalami studi social movement tahu bahwa Amerika memiliki banyak case menarik untuk bahan studi karena kultur partisipasi politik yang tinggi melahirkan beragam jenis kelompok kepentingan (interest group).
Kembali ke Devon, di sana dengan mudah ditemui pemandangan unik. Ulama bersorban dan berjanggut panjang lalu lalang, berpapasan adem ayem dengan rabi-rabi Yahudi dengan topi tinggi dan jas hitamnya, juga dengan janggut panjang (waktu masih gandrung dengan bacaan-bacaan kiri selagi kuliah di Bandung dulu, teman-teman sering bercanda bahwa Karl Marx juga patut dianggap sebagai nabi karena Marx juga berjanggut panjang…he..he). Islam, Kristen, Yahudi sejatinya adalah agama Ibrahim yang monoteis. Saya jadi ingat sebuah buku terbitan Mizan yang membahas ini. Judulnya adalah “Tiga Agama Satu Tuhan”.