Rest in Peace, Yop!

Maret 8, 2014

Kalau ada saat dimana saya menulis sambil menitikkan airmata, notes ini adalah salah satunya. Tadi sore masuk banyak sekali message via bbm dan sms, menanyakan kabar Yopi Fetrian, teman/sahabat terbaik saya. Saya jawab: “Yopi baik-baik saja”.

Kemarin (4 Maret 2014) saya masih bicara via telpon dengan dia tiga kali. Pagi hari dalam perjalanan dari rumah ke CSIS, lalu di kantor, dan dalam perjalanan ke bandara karena saya dalam perjalanan menuju Singapura. Kami ngobrol biasa, bercanda padahal yang dibicarakan serius. Saya bermaksud me-refresh jaringan survei CSIS dan minta Yopi membantu setup jaringan enumerator baru di Sumatera Barat dan seluruh Sumatera.

Dia dulu aktif di Lab Politik Universitas Andalas. Sekarang menjabat sebagai ketua jurusan Hubungan Internasional di Unand. SMS dia terakhir kemarin memberi contact person di Unand yang sudah dia ajak bicara segera setelah saya telpon pertama kali kemarin pagi, dan mempersilahkan saya mem-follow-up. Karena saya tidak langsung menjawab sms itu, dia telpon saya: “Lip, udah lihat message aku? itu ada contact person”. Saya jawab iya sudah lihat (padahal belum). Setelah telpon ditutup baru saya lihat sms nya dan segera saya jawab pendek: “siap, thanks!”

Jadi, walau agak heran karena tiba-tiba banyak yang menanyakan kabar Yopi, saya bilang dia baik-baik saja. Karena belum berselang 24 jam saya bicara panjang lebar via telpon. Bahkan kepada beberapa teman yang menanyakan kabar Yopi itu, saya kasih nomer telponnya dan saya minta kontak Yopi langsung kalau tidak percaya bahwa Yopi baik-baik saja.

Walaupun mulai was-was, saya meyakinkan diri saya bahwa Yopi baik-baik saja. Toh kemudian message bbm beruntun masuk mengabarkan bahwa benar Yopi sudah tidak bersama kita lagi. Badan lemas seketika dan saya merasa tidak berdaya, berada jauh di Singapura, tak mungkin melayat untuk mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir dan menyampaikan duka pada Eka istrinya dan pada keluarganya.

Sialnya, tadi itu session dimana saya harus bicara tepat akan dimulai dan selama dua jam berikutnya saya hanya bisa mengintip message2 yang terus masuk dari banyak orang mengabarkan soal Yopi. Konsentrasi pecah berantakan. Yopi berpulang saat naik motor menuju kampus ditabrak angkot. Syahid. Ia sedang dalam perjalanan menuju kebaikan ketika berpulang. Insya Allah.

Di tengah sesi, saya sempatkan mengirim message duka ke grup bbm keluarga dan mengabarkan Sinta istri saya, yang juga bersahabat dengan Yopi, dan Ibu serta kakak saya di Jakarta. Yopi sudah menjadi seperti saudara sendiri buat kami sekeluarga.

Tidak sampai sebulan lalu, Yopi saya undang menjadi pembicara dalam sebuah seminar di CSIS. Kami baru menyelesaikan sebuah penelitian dan seorang peer-reviewer yang adalah seorang peneliti senior di luar CSIS mengkritik keras draft laporan kami, dan menulis dalam komentar terhadap draft laporan riset itu: “literature review nya masih lemah, perlu baca tulisan Yopi Fetrian tentang topik hubungan politisi dan konstituen”.

Begitu saya membaca input dari sang peer-reviewer, saya langsung telpon Yopi: “Yop, gw dapet perintah untuk baca tulisan elu soal politisi dan konstituen. Mantep, minta soft copynya dong”. Yopi terkekeh-kekeh dan kami bicara panjang via telpon. Dia bilang itu tulisan sudah lama sekali, lebih dari lima tahun lalu (kelihatannya saya bukan teman yang baik karena tidak pernah tahu dia menulis soal itu), dia akan coba cari lagi file nya. Dia akan cari di rumahnya di Padang, atau kalau tidak ketemu akan dia cari di rumahnya yang di Jakarta.

Dua hari kemudian dia telpon saya lagi, bilang bahwa file nya tidak ketemu. Saya bilang: “tapi elu masih inget apa yang elu tulis”? Dia tertawa terbahak-bahak. Saya bilang: “lah serius ini. Kalau soft copy-nya nggak ada, lu aja yang gw datengin ke Jakarta. CSIS mau bikin seminar penelitian itu, elu biar bicara jadi pembahas, kan semua ada di dalam kepala ente, lebih berharga daripada soft-copy”. Dia tanya kapan acaranya? Saya jawab: “19 Februari, pas elu ulang tahun. Gw traktir tiket pesawat.” Dia pun terkekeh-kekeh tertawa lagi di telpon.

Jadilah dia ke Jakarta, jadi pembicara di CSIS. Membahas penelitian saya dan teman-teman CSIS. Sebetulnya, itu pertama kali saya dan dia bicara dalam satu panel akademik yang sama. Saya peneliti, dia dosen. Biasanya kami diskusi obrol-obrol informal ngalor ngidul. Tapi hari itu saya agak terharu juga, karena setelah bertahun-tahun sama-sama meniti karir akademik dalam jalur berbeda, akhirnya duduk berdiskusi sebagai dua orang akademisi. Dan hari itu, Yopi presentasi amat sangat baiknya.

Dulu, ketika dia bilang bahwa dia mau menjadi dosen di Unand, saya agak heran juga. Tapi saya tidak bertanya macam-macam. Dia cuma bilang: “mau pulang kampuang”. Kata saya: “mantep Yop”. Saya rasa itu cukup memberi motivasi sebagai teman.

Saya ingat pertama kali bertemu Yopi, di hari pertama penataran P4 di Unpad tahun 1991. Hari itu, saya tidak kenal siapapun dan Yopi persis duduk pas di sebelah saya. Dia mengulurkan tangan, orang pertama yang mengajak berkenalan. “Dari mana asal? Saya dari Padang”, begitu katanya. Saya jawab:”Jakarta, tapi orang tua dari Padang”. Seketika kami menjadi akrab, walaupun Yopi kala itu terdengar aneh karena berbicara dalam bahasa Indonesia yang sangat formal, ditambah dengan logat Minang yang kental. Hingga bertahun-tahun kemudian saya masing sering menggoda dia soal diksi dan cara bertuturnya yang sangat formal itu.

Tahun 1993 kami tinggal bersama di sebuah rumah, bertiga dengan Hikmat Gumilar alias Tjimot (rumah itu milik ayahnya Tjimot), saat kampus kami pindah dari Dago ke Jatinangor. Dua tahun lebih kami tinggal bersama di sana. Rumah di Jatinangor itu menjadi tempat kumpul banyak orang. Sony Gandana alias Bombom, seorang teman satu angkatan di HI Unpad, sering menyebut rumah itu sebagai “satelit”, tempat banyak teman mampir rapat, nonton tv, main catur, main gaplek, atau untuk belajar kala ujian.

Suatu pagi di bulan Juli di masa-masa itu, Yopi dan saya yang sama-sama baru bangun tidur memberi hadiah ulang tahun buat saya. “Ini buat elu Lip”. Saya buka, isinya kaset Vivaldi sang musisi violin klasik seri Four Seasons. Saat saya kuliah doktoral Amerika, dia juga kirim “hadiah” ulang tahun. Hadiahnya link video di youtube: Yusuf Islam aka Cat Stevens menyanyikan lagu “Father and Son” di BBC tahun 2007. Dia bilang: “lu jauh sih, ini hadiah ultah link lagu aja, supaya kita ingat bokap kita masing-masing”. Ini link-nya: http://www.youtube.com/watch?v=nG-TUyMW9Qs

Rasanya, Yopi termasuk salah seorang yang kenal saya luar dalam. Sebaliknya, sepertinya saya tidak terlalu kenal dia luar dalam. Dia pendengar yang baik, tapi tidak pernah menceritakan masalah-masalahnya. Mungkin juga karena dia memang tidak pernah punya masalah apapun. Hidupnya lurus, perilakunya baik, murah hati, dan easy going. Semua yang mengenalnya akan setuju bahwa dia adalah orang yang loveable, ringan tangan siap menolong. Ketika saya hendak memutuskan untuk menikah di usia relatif muda, Yopi orang pertama yang saya ajak bicara. Dia mengangguk, lalu tanya apa yang dia bisa bantu. Dan dia memberi bantuan yang nilainya tak terhingga, yang tak perlu saya ceritakan.

Ibu saya suka pada Yopi, istri saya juga. Ketika kakak saya nikah dulu, Yopi ikut sibuk jadi panitia.
Bulan April tahun lalu, saya menemani Ibu saya pulang kampung ke Bukittinggi. Ada sepupu saya menikah. Anak saya Keira yang masih berumur 4 tahun saya bawa serta. Saya beritahu Yopi bahwa saya berdua Keira ke Bukittinggi. Ibu saya sudah berangkat duluan. Yopi was being Yopi, tanya saya gimana transportasi dari Padang ke Bukittinggi. Saya jawab belum tahu. Ternyata, dia minta seorang mahasiswanya menjemput saya di bandara dan mengantarkan saya ke Bukittinggi. Dia sedang ada acara di kampus. Padahal, saya ternyata dijemput saudara di bandara.

Lusanya, Yopi nyetir sendiri ke Bukittinggi, mau ikut hadir dalam acara kawinan sepupu saya itu, sekalian jemput saya dan Keira dan ingin mengantarkan ke bandara. Jadilah kami bertiga dalam mobil.

Yopi ajak mampir ke padepokan sastra Fadli Dzon yang indah di Padang Panjang, Keira senang di sana. Banyak boneka-boneka wayang yang unik. Kami juga dibawa makan sate padang Mak Sukur di Padang Panjang yang terkenal itu. Di sana, Yopi memaksa saya pesan dan minum Teh Talua (Teh Telur). Dengan terpaksa saya pesan, satu teguk pun nggak kuat. Sungguh aneh rasanya, teh dicampur telur. Yopi tertawa terbahak-bahak melihat wajah saya yang menahan rasa aneh Teh Talua. Dia yang akhirnya menghabiskan segelas Teh Talua yang saya pesan itu.

Kami juga mampir di sekolah berasrama yang terkenal, INS Kayutanam. Ini adalah Taman Siswa-nya Sumatera Barat. Didirikan tahun 1926, oleh Muhamad Syafei yang boleh disebut sebagai Ki Hadjar Dewantoro nya orang Minang. Muhamad Syafei adalah mantan menteri pendidikan juga di masa pemerintahan Sjahrir dulu.

Ketika kami sampai di INS Kayutanam, saya menyaksikan betapa guru-guru di sana menyambut gembira kehadiran Yopi. Mereka sangat akrab. Di sana saya baru tahu bahwa Yopi lah yang membantu mereka setup IT system. Pro bono, tak dibayar, sukarela. Saya hari itu sangat terharu mendengar dan melihat apa yang saya saksikan. Pahala akan mengalir terus dari murid-murid INS Kayutanam atas kebaikan Yopi ini. Insya Allah.

Beberapa kali Yopi mengundang saya untuk menjadi pembicara di Unand. Hanya sekali saya bisa hadir. Tahun lalu, Jurusan HI Unand bekerjasama dengan Kementrian Luar Negeri. Saya tidak pernah ke kampus Universitas Andalas sebelumnya. Saat saya tiba dan menginjakkan kaki ke sana, mengertilah saya mengapa Yopi dulu itu bilang pada saya bahwa dia ingin menjadi dosen di Unand.

Kampus Unand, menurut saya, adalah kampus universitas negeri paling cantik di Indonesia. Di atas bukit, bangunan fakultas-fakultas terbuat dari batu hitam yang kokoh dan gagah. Seperti bangunan kampus tua di luar negeri. Pemandangan dari kampus Unand tak ada bandingnya. Ke belakang adalah barisan pegunungan, ke depan adalah laut.

Saya bilang ke Yopi: “baru gw tahu kenapa elu ngotot betul mau jadi dosen di sini”. Saya bilang ke dia: “dengan tempat seindah ini, what else do we need Yop?” Hanya suara tawa terkekeh-kekeh itu yang saya terima sebagai jawabannya.

Yopi adalah tipe orang yang merasa cukup dengan apa yang dia miliki. Tidak pernah minta lebih. Bila umurnya dilebihkan, saya amat yakin dia akan menjadi model intelektual yang menjalani laku asketisme, sederhana, dan rendah hati. Sepanjang saya kenal dia, Yopi bersikap agnostik terhadap hal-hal berbau material. Merasa cukup, karena itu Tuhan mencukupkannya. Yopi juga baru haji, di musim haji yang baru lalu. Sebagai muslim, ia paripurna.

Saat acara hari itu di kampus Unand, gantian saya tanya ke dia: “apa yang bisa gw bantu Yop biar di kampus ini diskusi makin hidup?” Yopi bilang: “perlu resource supaya bisa mendatangkan pembicara-pembicara dari Jakarta, biar bisa diskusi dengan mahasiswa.” Saya bilang saya akan coba lihat apa yang bisa saya usahakan di Jakarta.

Di Jakarta, saya langsung menghubungi bang Jeffrie Geovanie, yang saya tahu peduli dengan kampung halaman Sumatera Barat. Saya kisahkan apa yang saya lihat di kampus Unand dan apa yang menurut saya bisa dan perlu dibantu. Bang Jeffrie setuju untuk ketemu Yopi, maka kami atur waktu Yopi ke Jakarta, saya akan temani.

Semalam sebelum hari-H, bang Jeffrie Geovanie kontak saya menyampaikan bahwa esok pagi mendadak harus ke Singapura, padahal Yopi sudah di pesawat menuju Jakarta. Kata Jeffrie: “begini saja, Philips dan Yopi susul ke Singapura aja, nanti orang kantor saya yang akan urus tiket dan akomodasinya.”

Ternyata tidak mungkin, karena Yopi tidak bawa paspor dan saya juga sedang tidak mungkin pergi jauh. Maka rencana hari itu batal. Tetapi setahu saya, akhirnya Yopi sudah bertemu dengan bang Jeffrie, dan saya belum sempat menanyakan kelanjutannya.

Begitulah. Yopi amat mencintai profesinya sebagai pengajar, di kampung halamannya. Yang selalu dipikirkannya adalah bagaimana memajukan mahasiswa dan kampusnya. Tidak banyak orang yang bisa menemukan dan mencintai pekerjaannya dengan hati sepenuh-penuhnya. Yopi adalah salah satunya.

Notes facebook ini hanya sebuah noktah kecil dari kisah pertemanan dan persahabatan saya dengan Yopi. Kata-kata sepertinya tidak cukup untuk menceritakan semuanya. Saya bersaksi bahwa Yopi tidak pernah menyia-nyiakan masa hidupnya, ia telah membawa manfaat bagi banyak orang dan lurus jalannya.

Bila ada civitas akademika Fisip Unand ataupun jurusan HI Unand membaca notes saya ini, saya ingin sampaikan: I am all yours. Bila diundang ke sana, insya Allah saya akan hadir. Saya ingin meneruskan apa yang dicintai sahabat saya ini.

Alfatihah. Rest in Peace, Yop!

Singapura, 5 Maret 2014

Philips Vermonte

 

In Search of Democratic Platforms

Januari 31, 2014

published in The Jakarta Post Special Edition “Outlook 2014: Analyses, Challenges and Opportunities in the Year of Choices” (January 2014)

In Search of Democratic Platforms

Philips Vermonte, Head, Department of Politics and International Relations, CSIS Jakarta

 

The year 2013 was seen as a prelude to the political year of 2014. One of the weirdest political scenes in 2013 was when political parties had to advertise in the media in order to find people to be listed   as their candidates for the legislative election. The parties had to rush to recruit candidates to meet the deadlines for names submission set by the General Election Commission (KPU).

This, I guess, is a symptom of how our political parties are dysfunctional. Party recruitment and training program are indicators of whether a political party is functioning well. A political party has to be ready with its recruitment process immediately after an election is over.  It has to start all internal political processes right away. By doing so, those who lose in the election will be able to quickly regroup, while the winner consolidates.

But what we saw in such advertisements in the media reinforces the image widely held by the public that politicians and/or political parties are just regular job seekers. Politicians are no longer thought of as noble individuals. Politics then becomes an arena that good people do not intend to enter.

Not surprisingly, until last year, anti-political sentiment was pretty high.  A survey conducted by the Centre for Strategic and International Studies (CSIS) in June 2012 revealed that more than 50 percent of the respondents thought that political parties had performed badly or very badly.

The evaluation from the electorate about the parties’ performance serves as an indicator that our political parties are weakly institutionalized. Political parties rely more on their head figures than on their political machinery. I believe that political parties’ inability to carry out a regularized recruitment mechanism is a root cause of all political problems that Indonesia faces today.

Political parties are then organized along the line of pragmatism, not ideological principles. As a result, the electorate cannot differentiate one party from another, resulting in a prolonged anti-party sentiment. For sure a certain degree of pragmatism is needed in politics.

But the irony is this: pragmatism as a new norm in party politics should bring about good public policies, while in fact it does not. Corruption remains rampant to the level no longer acceptable to the public. Various public opinion surveys have revealed that political parties and the legislature are considered among the most corrupt institutions in the country.

In fact, there are two basic functions that must be fulfilled by political parties through their representatives  (members of the House of Representatives): legislation and representation. These two functions can be set as benchmarks to evaluate the performance of our representatives.

On the legislation side, last year the House only passed seven laws, far from 70 it planned in the National Legislation Program (Prolegnas) for 2013. It repeated the low legislative performance recorded in the previous three years.

In 2010, the House only passed eight laws. In 2011 only 18 of targeted 93 were passed. In 2012, it only produced 10 out of the planned 64.

It raises a pertinent question about the lawmaking capacity of our lawmakers, which I believe goes back to the weak recruitment and training mechanism within each political party.

On the representation side, our lawmakers also fare poorly, at least in the eyes of the electorate. The most recent CSIS survey, which was released in November 2013, delivered worrying number — 81 percent of constituents did not know House politicians from their electorate districts (dapil).

The survey also revealed interesting facts. Supporters of PKS, for example, are relatively the most ‘knowledgeable’ about lawmakers from their electoral districts compared to supporters of other political parties.

The number of PKS voters who know their representatives (regardless of the parties to which those politicians belong to) is higher than other political parties: 30.8 percent of the PKS voters know the House lawmakers from their electoral district, followed by Democratic Party (PD) voters with 26.8 percent and PAN with 26.3 percent.

These numbers are higher than those of the old parties, namely PDI-P, Golkar and PPP.

Politically, this is interesting because the PKS, the PD and PAN are new parties, formed after the fall of Suharto. It remains to be seen whether we are witnessing a new generation of voters more sophisticated and rational. At the very least, we are starting to see the fruits of our persistent efforts to reform our political party system.

Nevertheless, we continue to see a so-called “coattail effect” in the way our voters reveal their preference. That is, strong and popular individuals are the main vote- getters for the party, not the systemic and organic electoral works by the party members. 

Approaching the 2014 election, the “Jokowi effect” has become more discernible. The CSIS’ November 2013 survey found that if the election was held at that point, the PDI-P would have won 17.6 percent, trailed by Golkar with 14.8 percent; the Gerindra with 8.6 percent, and the PD with 7 percent.

The PDIP-P has gained hugely from the popularity of Jakarta Governor Joko “Jokowi” Widodo. If the governor’s name eventually finds it way to the ballot paper, according to the same CSIS survey, the number of votes that PDI-P would garner would almost double to29.9 percent, dwarfing the support Golkar would win (15.1 percent),  Gerindra (9.2 percent) and PD (4.6 percent).

This creates a good prospect for another political “experimentation” by the PDI-P. If the party won 29.9 percent, the prospect for a minimum-winning coalition would be clear. It would surpass the 25 percent threshold required to self-nominate a presidential candidate. It would not need to form a coalition to nominate presidential and vice presidential candidates.

Consequently, should it win the election, the PDI-P could actually form a governing Cabinet without having to accommodate pressures from other parties wanting to access the power via Cabinet seats.

President SBY succumbed to this pressure in 2009, despite the fact he won by landslide in the presidential election.  He opted for the “maximum-winning coalition” and included almost all of the political parties in his Cabinet. Yet, we have all witnessed how the “maximum-winning coalition” did not work and the President could not push through many of his policies.

The PDI-P has taught us one important lesson in politics: being an opposition party is good and your political power will not be diminished. The PDI-P is now enjoying the fruits of its brave decision to be an opposition party for two electoral cycles, from 2004 to 2014.

The year 2013 was probably the right time for the PDI-P. It nearly won, and finally won, several important and strategic local elections. In West Java, the party’s candidates Rieke Dyah Pitaloka and Teten Masduki came second by a small margin,  against a strong incumbent.

The same thing occurred again not long after the West Java gubernatorial election. In the North Sumatera gubernatorial election, the PDI-P’s candidate also came second. The same was true in the Bali gobernatorial election. Finally, the PDI-P won the gubernatorial election of Central Java. These are important provinces in the context of our national elections. They are densely populated and have a large number of seats up for grab in the 2014 legislative election.

The experiences in those four provinces tell us that the PDI-P’s party machine works and relatively more organized than other political parties.

It is likely that PDI-P can once again teach the country another political lesson by forming a minimum-winning coalition should Jokowi and his running mate be elected president and vice president, which is letting the winners govern and implement their preferred policies.  

What we need in elections are not sore losers, but a good losers who can then fill the role of opposition that have been consequently played out by the PDI-P in the last ten years.

Unfortunately, the fate of Jokowi’s possible presidential nomination lies within the hands of a small number of individuals in the PDI-P’s elite circle. It is probably the biggest challenge for the future of our democracy.

What has not been done in terms of political reform since 1998, ironically, is to internally democratize our political parties. The party oligarchs or the owners of the parties are tightly controlling our political parties. As such, our political parties are not democratic platforms. This not only goes for the PDI-P, none of them are.

 

Indonesia towards 2014: the End of Political Oligarchy?

Desember 27, 2013

published in Tempo Magazine (English edition), special double edition, December 23, 2013-January 5, 2014.

 

Indonesia towards 2014: the End of Political Oligarchy?

Philips Vermonte, Head – Department of Politics and International Relations, Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

 

The 2014 election is fast approaching. Analyses or, to put it more aptly, speculation about the country’s next leader is also taking shape. Various public opinion surveys have now established that Joko Widodo, the governor of Jakarta, would win if the election was held today.

The latest data from CSIS’ twice-a-year survey that was published in November 2013 suggests that there are strong currents flowing in support of the Jakarta governor. CSIS’ November survey revealed,  that, in comparison to its May 2013 survey, support for Jokowi, as he is called, had increased by six percent while most of other presidential aspirants seemed to loose support. Only Aburizal Bakrie of Golkar and Wiranto of the Hanura party were able to strengthen their base of support. The survey found that there is a two percent increase for Aburizal Bakrie and 3.8 percent for Wiranto from the May survey. Jokowi’s strongest contender now is Prabowo Subianto, the former military general, whose support for him started to crumble after Jokowi’s election as Jakarta governor last year.

Jokowi has been able to garner support across the board. His support base is gradually widening. The CSIS November survey found that his source of support was mainly from PDI-P supporters. About 64 percent of the respondents who said that they would vote for PDI-P in 2014 said that they would vote for Jokowi. Meanwhile, approximately 43 percent of the Democrat party voters said that they would vote for the governor. As for Golkar and Gerindra, the numbers of their supporters who switched to Jokowi were 23 and 21 percent respectively.

From the figures above, we can see an almost unstoppable support from voters from different political parties towards Jokowi. His support base from PDI-P voters in the previous survey was 52 percent, while among the Gerindra voters the support for Jokowi significantly increased from 13 percent to 21 percent, which implies that some of Prabowo’s voters switched to Jokowi, abandoning the former Special Forces general.

In sum, we see a widening gap between Jokowi and other presidential candidates the closer we come to the 2014 election.

This writing, however, is not about Jokowi per se. One cannot fail to see that there is a significant difference between the top contenders of the upcoming presidential election, which is about the “ownership” of the parties. Prabowo and Wiranto, for example, are the founders and hence the owners of their respective parties. They are the oligarchs of the political parties. But Jokowi is not one of them.  

Jokowi is just a regular member of the PDI-P. With such a high level of public support for Jokowi, we can safely say that Jokowi enjoys support from different walks of life, from both the elite and non-elite members of the Indonesian electorate.

In terms of democratic consolidation, this phenomenon gives us a little sign that political parties’ oligarchic practices probably now is ceasing to exist. Indonesia has started the democratization processes and various reform initiatives have taken place since 1999. The Indonesian Armed Forces (TNI) have more or less returned to their barracks as the political reform dismantles their social and political dual functions. Indonesia’s press is one of the freest in the world, something unimaginable during the New Order era.The reform has also brought in a number of new business players, previously tightly controlled by a small number of elites, i.e. conglomerates. This is not to say that the country’s economy is no longer controlled by certain powerful conglomerates, but at the very least the barrier to entry is not as high asbefore.

Yet, one important area that has not been touched upon is the heart where all the political processes start out: the way our political parties operate remains the same. The parties have not been internally democratized. Decision making processes within parties continue to be controlled by a small group of powerful men and women, the party oligarchs. The power to nominate candidates lies within this small circle.

The PDI-P is our democratic test as Jokowi changes all political equations. In fact, the PDI-P has taught the country one important lesson in electoral politics. It demonstrated that being outside the power for two electoral cycles – they lost in the 2004 and 2009 elections – does not mean that the party should stagnate. On the contrary, the PDI-P has shown that being an opposition party is the new norm and that it can regain later. That is what electoral politics is all about: if one loses an election, re-group and re-focus and do the political homework.

What the PDI-P is enjoying right now is the fruit of the party’s strong determination to be an opposition party for the past ten years. Today, the party prides itself in its young and bright cadres who hold various important public positions. To name a few: Jokowi as the governor of Jakarta, Ganjar Pranowo in the Central Java Province, and Tri Rismarini, the phenomenal mayor of Surabaya City in East Java province. This, in my view, comes as a result of PDI-P’s national leadership’s bold decision not to join the “maximum-winning-coalition” formed by President SBY.

As a result, the PDI-P and Jokowi are now able to position itself as an alternative to the incumbent party and the member of the party coalition.

Ironically, Jokowi, regardless of the huge support from the people outside PDI-P’s elites, may not be on the ballot if the party elites decide not to nominate him and choose someone else. In this case, Jokowi is a case study of whether or not the voice of the elite really coincides with the voice of the people as a true democracy should. If not, then what we will have is a disconnection between the elites and the people and the party oligarchs, not only inside PDI-P but also within other parties. The PDI-P has the chance to teach the country yet another lesson.

Outside the PDI-P, another sign that the domination of the party oligarchs is crumbling can also be seen. The Democratic Party convention shows a democratic opening within the party. The convention allows some rooms for figures who are not part of the party elites. Critics attacked the motive behind the decision to hold such a convention. However, I am of the opinion that the point is not necessarily the motivation of the Democrat Party elites in deciding to have such a convention. What’s important is the precedent it carries for Indonesian politics. That is, not long from now all parties must find some way to select and elect their presidential candidates in open processes.

Therefore, this “crack” within the “oligarchic wall” must be pushed further for the next generation of politicians to shatter that wall. The nation is waiting, the voters are watching.

A quote from Hillary Clinton is relevant here. In her famous concession speech in 2008 as she lost the Democrat primary to Barrack Obama, Clinton eloquently explained her heroic electoral fights in the male-dominated political processes to her 18 million or so mostly female supporters: “Although we were not able to shatter that highest, hardest glass ceiling this time, thanks to you, it’s got about 18 million cracks in it…. The path will be easier next time”.

Blog Baru

Juli 21, 2008

Saya baru bikin blog baru untuk cerita-cerita perburuan piringan hitam di sini. Silahkan mampir di:http://berburuvinyl.wordpress.com

see ya!

Curhat Tita

Juni 16, 2008

Tita seorang teman lama barusan menerbitkan buku yang lain dari yang lain. Karyanya berupa berupa buku harian dalam bentuk komik. Pasti bagus, cepat-cepat lah beli di toko buku!…he..he.

Berikut review buku itu di Kompas minggu kemarin.

salam

pjv

——

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/15/01274624/mengapa.tak.ada.hidung.di.wajah.tita

Mengapa Tak Ada Hidung di Wajah Tita?
Minggu, 15 Juni 2008

HIKMAT DARMAWAN

Tepatnya, tak ada hidung di gambar wajah ”Tita” jika sedang menghadap depan (”frontal face”). Kalau Tita menggambarkan ”Tita” dari samping, ada sih hidung itu—mungil, memberi tanda kecil bahwa ”Tita” adalah karakter tiga dimensi.

Tita Larasati saat ini adalah seorang dosen ITB. Pada tahun 1995, ia mendapat kesempatan magang selama setahun di Jerman. Jauh dari orangtua dan keluarga, Tita memulai kebiasaan membuat graphic diary.

Ia menggambar apa saja yang ia alami, kapan saja ia sempat, dengan kertas A4 dan gelpen (Pilot G-1 warna hitam), lalu mengirimkan graphic diary itu dengan faksimile ke keluarganya di Indonesia. Kebiasaan itu berlanjut, baik ketika ia balik ke Indonesia maupun ketika ia keluar negeri lagi, untuk melanjutkan studi desain industri ke Belanda, pada tahun 1998.

Di Belanda, kegiatan ngomik dan bertutur-grafisnya lebih terasah. Belanda adalah salah satu negeri komik terpenting di Eropa Barat, bahkan dunia. Kita, misalnya, akrab dengan komik-komik Belanda (diimpor tak resmi—tanpa copyright) lewat majalah Eppo yang menghimpun komikus-komikus Belanda, seperti Martin Lodewijk (Agen 327, Johny Goodbye, serta menulis beberapa episode seri Storm yang dilukis Don Lawrence), Hans G Kresse (Vidoq, Alain d’Arcy), dan Peter de Smet (Sang Jenderal). Belakangan, kita juga mengenal Peter van Dongen, yang membuat komik berlatar sejarah Indonesia, Rampokan Java dan Rampokan Celebes.

Tita mengenal Peter secara pribadi di Belanda. Rumah Tita di Belanda dekat dengan toko komik sekaligus museum komik internasional terkemuka, Lambiek. Kedekatan fisik dan batin dengan Lambiek ini membuat Tita juga dekat dengan perkembangan mutakhir seni komik dunia.

Di milis komik alternatif dan blog-multiply-nya, Tita sering cerita pergumulannya dengan novel-novel grafis terbaru atau perjumpaannya dengan komikus alternatif kelas dunia, macam Chris Ware (Jimmy Corrigan). Persinggungan langsung dengan perkembangan mutakhir seni komik dunia membuat komik-komik Tita menjadi warga dunia juga.

Spontan, ”lain”

Gagasan bahwa komik adalah medium untuk mendedahkan sepenuhnya diri pribadi seorang seniman bukanlah hal yang lazim di Indonesia. Graphic diary dan komik otobiografis bukanlah seni yang banyak dilakoni para komikus atau pegrafis kita.

Komik di Indonesia, baik fiksi maupun nonfiksi, lebih banyak jadi medium bercerita yang konvensional: mementingkan narasi verbal dan dialog, mementingkan plot (biasanya plot maju-lurus), penataan panel yang umumnya konservatif (bingkai kotak-kotak tersusun rapi), dan umumnya bertujuan menghibur atau memberikan informasi kepada pembaca. Satu lagi konvensi komik kita yang lazim: komik adalah bacaan hiburan anak. Karenanya, komik-komik Tita terasa ”lain”, bahkan ”asing”.

Komik-komik Tita berangkat dari kebutuhan pribadi mengingat dan berkabar, lalu tumbuh menjadi serangkaian seri komik yang sangat personal. Modus pembuatannya sangat spontan: hanya kertas dan pulpen, tanpa sketsa—dan, memang, gaya gambar Tita seperti sketsa. Tanpa naskah atau story board. Tanpa desain karakter, kecuali komitmen pada gaya kartun Barat yang melakukan penyederhanaan terhadap realitas, tetapi tak pernah beranjak jauh—bahkan ingin selalu mendekati—realitas. Tita mengalami sesuatu, lalu ia mewujudkannya dalam garis di atas kertas setiap kali ia punya waktu (saat menunggu sesuatu atau saat dalam perjalanan). Begitu, setiap hari.

Tita tak mendiskriminasi pengalaman, amatan, atau peristiwa yang terlintas di hadapannya. Hidup sehari-hari orang biasa seperti Tita, Anda, dan saya tak dipenuhi oleh petualangan atau peristiwa dramatis. Kita umumnya akan mengabaikan saja yang sehari-hari dan ”biasa-biasa” saja itu, menganggapnya tak menarik, dan melarikan diri darinya ke (misalnya) dunia sinetron, reality show, infotainment, yang serba berlebihan dan ”ajaib”. Seniman macam Tita merengkuh keseharian itu, menganggapnya menarik, menandainya, mengabadikannya.

Dan Tita sehari-hari adalah seorang pelancong iseng, istri Sybrand (seorang Eropa), ibu Dhanu dan Lindri, mahasiswa program doktoral dan kini telah menjadi dosen pegawai negeri. Sepuluh tahun ia tinggal di Belanda, mengalami Eropa luar-dalam, dan kini kembali jadi warga Bandung, selalu waswas tiap bersepeda ke kantor karena jalanan Bandung tak seramah jalanan Eropa pada pengendara sepeda. Dengan sendirinya, ketika Tita mengomikkan kesehariannya apa adanya, maka komiknya menampik kelaziman ”komik sebagai hiburan anak”.

Topik komik Tita mencakup pengalamannya hamil dan membesarkan anak; juga, kadang, pikiran-pikirannya tentang bangsa. Artinya, komik ini sedewasa pembuatnya. Komik dewasa, yang dicipta secara dewasa, sayangnya, masihlah aneh bagi pasar komik kita. Belakangan, memang mulai terbit komik-komik dewasa dan nyeleneh. Misalnya, novel grafis terjemahan dan terbitan Gramedia dan KPG. Atau beberapa gelintir komik underground dari Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.

Lebih jarang lagi, komik lokal yang sepersonal ini—yang sepenuhnya, dan kontinu, merekam dengan rinci dunia pribadi sang komikus. Saingan terdekat Tita adalah seri strip Old Skull, karya Athonk di Yogya yang bersemangat punk, khususnya serial pengalamannya di penjara setahun gara-gara bawa ganja. Komik Lagak Jakarta karya Benny & Mice tak sepenuhnya bisa dikategorikan graphic diary karena masih mengandung kehendak menjadi komik fiksi.

Athonk memilih defamiliarisasi cukup ekstrem ketika menggambarkan dirinya di atas kertas: sosok berwajah tengkorak dengan rambut gaya mohawk. Tita memilih gaya kartun yang lebih lunak.

Tentang nir-hidung itu

Gemar berbaju kotak-kotak, santai, berbadan agak gempal, dan wajah bulat tanpa hidung jika sedang menghadap depan—itulah karakter kartun ”Tita”. Sengaja atau tak sengaja, karakter wajah ini mirip dengan karakter Smiley.

Smiley adalah perwujudan yang distilisasi dari wajah tersenyum manusia, biasanya berupa bulatan kuning dengan dua titik sebagai mata dan sebuah kurva setengah lingkaran mewakili mulut tersenyum. Smiley menjadi ikonik, termasuk mendapat ”panggilan sayang” Smiley ketika dengan cepat merasuki medan budaya pop dunia pada 1970- an.

Emotikon, dan Smiley sebagai emotikon, menunjukkan bahwa ada kelenturan luarbiasa dari ikon yang mereduksi wajah manusia menjadi perkakas minimalis dua titik dan garis ini dalam mewujudkan rentang emosi manusia yang kaya. Model minimalis ini telah muncul sejak awal sejarah komik/ kartun modern.

Kelenturan inilah yang dimanfaatkan dengan baik oleh Tita saat menggambar ”Tita”. Pilihan pada model ikonik Smiley untuk menggambar wajahnya sendiri sedikit banyak menggambarkan pilihan artistik Tita. Ia memilih gaya kartun, yang hakikatnya menyederhanakan obyek atau kenyataan yang digambarkan hingga ke garis-garis esensialnya saja.

Kartun juga kadang berarti melebih-lebihkan unsur tertentu objek dalam gambar. Tapi Tita lebih menekankan penyederhanaan, bukan hanya dalam menggambarkan dirinya sendiri menjadi berwajah mirip Smiley. Dunia yang ditemui Tita, yang ia pahami, yang ia tafsir melalui garis-garis gel pen-nya yang lincah dan spontan, adalah juga sebuah dunia yang disederhanakan, esensial. Apalagi ketika bidang graphic diary-nya adalah kertas A-4.

Dalam selembar kertas, Tita mencatat secara grafis berbagai kejadian yang ia alami dan tempat yang ia kunjungi selama sebulan. Tentu ini tak memberi ruang bagi penyusunan cerita dan penataan panel yang lazim. Sering kali bingkai kotak diabaikan dan kejadian dipilih momen-momen esensialnya saja. Tak ada ruang untuk plot, apalagi dramatisasi. Ruang-ruang kecil dimanfaatkan dengan maksimal sehingga halaman-halaman itu riuh rendah oleh garis.

Sejak tahun 2000, saat Tita pindah ke Amsterdam, ia beralih ke buku sketsa ukuran A-5. Bidang berbentuk buku ini walau lebih kecil dari kertas A-4 (atau, justru karena lebih kecil), sedikit memaksa Tita mengubah strategi visualnya. Satu aspek peristiwa bisa didalami, walau tetap disederhanakan. Jika sebelumnya komik Tita lebih berat sebagai seni grafis, dalam bentuk buku ini unsur kekisahan lebih mencuat. Komik-komik Tita periode inilah yang dipilih sebagian (amat kecil) dan dikumpulkan dalam Curhat Tita ini.

Curhat tanpa neurosis

Istilah ”curhat” (mengungkapkan perasaan dan pikiran—bahasa slang) menyiratkan keintiman.

Dalam buku ini, Tita mencurahkan pikirannya tentang polah lucu para pengguna kolam renang, lagak turis di Belanda, teman duduk di kereta, senam kehamilan, kepulangan ke Indonesia, naik angkot, tingkah lucu kedua anaknya—Dhanu yang menjanjikan akan mengirim kelapa ke semua teman sekelasnya di Belanda kalau sudah sampai di Indonesia, dan Lindri yang punya ”kiat” sendiri membangunkan ibunya (termasuk menyorongkan sandal ke mulut ibu). Tita mencatat juga benda-benda yang dekat dengannya: rincian tas ranselnya, makanan Jepang, sepeda, dan ”kematian” komputer kesayangannya.

Orang bisa bilang, inilah narasi kecil yang begitu diagungkan di zaman postmodern kini. Barangkali itu pula salah satu sebab Tita adalah komikus Indonesia yang kini dikenal di Eropa—ia menawarkan dunia Tita yang partikular dan hidup. Karyanya dipuji oleh seniman komik dunia, Eddie Campbell (From Hell, The Fate of an Artist): Tita’s charming and always engaging cartoons live in a region of the world of the comic strip that has not yet been taken by the neurotics.

Pujian ini bukan hanya jadi komentar terhadap komik Tita, tapi juga komentar terhadap dunia novel grafis atau komik alternatif masa kini. ”Region” yang dimaksud Campbell bukan wilayah fisik, tapi sebidang ranah seni komik yang khas, di Barat, yang saat ini didominasi komik-komik dengan gejala ”neurosis” (sakit jiwa). Model komik biografis dan graphic diary saat ini diisi oleh Robert Crumb, Harvey Pekar, Art Spiegelman, Lewis Torndheim, David Collier, Lat, James Kochalka, Chester Brown, dan banyak lagi jiwa gelisah lain.

Dibandingkan para komikus ”neurosis” kelas dunia itu, dunia Tita tampak lugu dan tanpa beban. Komik-komik Tita, seperti puisi-puisi Sapardi Joko Damono, memberi kita harapan bahwa kita masih bisa bahagia oleh hal-hal kecil.

Sayang sekali, mutu cetak yang kurang baik menurunkan mutu garis Tita di buku ini. Lain kali, semoga komik Tita bisa terbit dalam bentuk art book dengan standar terbitan Taischen yang terkenal ciamik dan penuh hormat pada seni visual itu. (Hikmat Darmawan, Pengamat Komik)