Kalau ada saat dimana saya menulis sambil menitikkan airmata, notes ini adalah salah satunya. Tadi sore masuk banyak sekali message via bbm dan sms, menanyakan kabar Yopi Fetrian, teman/sahabat terbaik saya. Saya jawab: “Yopi baik-baik saja”.
Kemarin (4 Maret 2014) saya masih bicara via telpon dengan dia tiga kali. Pagi hari dalam perjalanan dari rumah ke CSIS, lalu di kantor, dan dalam perjalanan ke bandara karena saya dalam perjalanan menuju Singapura. Kami ngobrol biasa, bercanda padahal yang dibicarakan serius. Saya bermaksud me-refresh jaringan survei CSIS dan minta Yopi membantu setup jaringan enumerator baru di Sumatera Barat dan seluruh Sumatera.
Dia dulu aktif di Lab Politik Universitas Andalas. Sekarang menjabat sebagai ketua jurusan Hubungan Internasional di Unand. SMS dia terakhir kemarin memberi contact person di Unand yang sudah dia ajak bicara segera setelah saya telpon pertama kali kemarin pagi, dan mempersilahkan saya mem-follow-up. Karena saya tidak langsung menjawab sms itu, dia telpon saya: “Lip, udah lihat message aku? itu ada contact person”. Saya jawab iya sudah lihat (padahal belum). Setelah telpon ditutup baru saya lihat sms nya dan segera saya jawab pendek: “siap, thanks!”
Jadi, walau agak heran karena tiba-tiba banyak yang menanyakan kabar Yopi, saya bilang dia baik-baik saja. Karena belum berselang 24 jam saya bicara panjang lebar via telpon. Bahkan kepada beberapa teman yang menanyakan kabar Yopi itu, saya kasih nomer telponnya dan saya minta kontak Yopi langsung kalau tidak percaya bahwa Yopi baik-baik saja.
Walaupun mulai was-was, saya meyakinkan diri saya bahwa Yopi baik-baik saja. Toh kemudian message bbm beruntun masuk mengabarkan bahwa benar Yopi sudah tidak bersama kita lagi. Badan lemas seketika dan saya merasa tidak berdaya, berada jauh di Singapura, tak mungkin melayat untuk mengantarnya ke tempat peristirahatan terakhir dan menyampaikan duka pada Eka istrinya dan pada keluarganya.
Sialnya, tadi itu session dimana saya harus bicara tepat akan dimulai dan selama dua jam berikutnya saya hanya bisa mengintip message2 yang terus masuk dari banyak orang mengabarkan soal Yopi. Konsentrasi pecah berantakan. Yopi berpulang saat naik motor menuju kampus ditabrak angkot. Syahid. Ia sedang dalam perjalanan menuju kebaikan ketika berpulang. Insya Allah.
Di tengah sesi, saya sempatkan mengirim message duka ke grup bbm keluarga dan mengabarkan Sinta istri saya, yang juga bersahabat dengan Yopi, dan Ibu serta kakak saya di Jakarta. Yopi sudah menjadi seperti saudara sendiri buat kami sekeluarga.
Tidak sampai sebulan lalu, Yopi saya undang menjadi pembicara dalam sebuah seminar di CSIS. Kami baru menyelesaikan sebuah penelitian dan seorang peer-reviewer yang adalah seorang peneliti senior di luar CSIS mengkritik keras draft laporan kami, dan menulis dalam komentar terhadap draft laporan riset itu: “literature review nya masih lemah, perlu baca tulisan Yopi Fetrian tentang topik hubungan politisi dan konstituen”.
Begitu saya membaca input dari sang peer-reviewer, saya langsung telpon Yopi: “Yop, gw dapet perintah untuk baca tulisan elu soal politisi dan konstituen. Mantep, minta soft copynya dong”. Yopi terkekeh-kekeh dan kami bicara panjang via telpon. Dia bilang itu tulisan sudah lama sekali, lebih dari lima tahun lalu (kelihatannya saya bukan teman yang baik karena tidak pernah tahu dia menulis soal itu), dia akan coba cari lagi file nya. Dia akan cari di rumahnya di Padang, atau kalau tidak ketemu akan dia cari di rumahnya yang di Jakarta.
Dua hari kemudian dia telpon saya lagi, bilang bahwa file nya tidak ketemu. Saya bilang: “tapi elu masih inget apa yang elu tulis”? Dia tertawa terbahak-bahak. Saya bilang: “lah serius ini. Kalau soft copy-nya nggak ada, lu aja yang gw datengin ke Jakarta. CSIS mau bikin seminar penelitian itu, elu biar bicara jadi pembahas, kan semua ada di dalam kepala ente, lebih berharga daripada soft-copy”. Dia tanya kapan acaranya? Saya jawab: “19 Februari, pas elu ulang tahun. Gw traktir tiket pesawat.” Dia pun terkekeh-kekeh tertawa lagi di telpon.
Jadilah dia ke Jakarta, jadi pembicara di CSIS. Membahas penelitian saya dan teman-teman CSIS. Sebetulnya, itu pertama kali saya dan dia bicara dalam satu panel akademik yang sama. Saya peneliti, dia dosen. Biasanya kami diskusi obrol-obrol informal ngalor ngidul. Tapi hari itu saya agak terharu juga, karena setelah bertahun-tahun sama-sama meniti karir akademik dalam jalur berbeda, akhirnya duduk berdiskusi sebagai dua orang akademisi. Dan hari itu, Yopi presentasi amat sangat baiknya.
Dulu, ketika dia bilang bahwa dia mau menjadi dosen di Unand, saya agak heran juga. Tapi saya tidak bertanya macam-macam. Dia cuma bilang: “mau pulang kampuang”. Kata saya: “mantep Yop”. Saya rasa itu cukup memberi motivasi sebagai teman.
Saya ingat pertama kali bertemu Yopi, di hari pertama penataran P4 di Unpad tahun 1991. Hari itu, saya tidak kenal siapapun dan Yopi persis duduk pas di sebelah saya. Dia mengulurkan tangan, orang pertama yang mengajak berkenalan. “Dari mana asal? Saya dari Padang”, begitu katanya. Saya jawab:”Jakarta, tapi orang tua dari Padang”. Seketika kami menjadi akrab, walaupun Yopi kala itu terdengar aneh karena berbicara dalam bahasa Indonesia yang sangat formal, ditambah dengan logat Minang yang kental. Hingga bertahun-tahun kemudian saya masing sering menggoda dia soal diksi dan cara bertuturnya yang sangat formal itu.
Tahun 1993 kami tinggal bersama di sebuah rumah, bertiga dengan Hikmat Gumilar alias Tjimot (rumah itu milik ayahnya Tjimot), saat kampus kami pindah dari Dago ke Jatinangor. Dua tahun lebih kami tinggal bersama di sana. Rumah di Jatinangor itu menjadi tempat kumpul banyak orang. Sony Gandana alias Bombom, seorang teman satu angkatan di HI Unpad, sering menyebut rumah itu sebagai “satelit”, tempat banyak teman mampir rapat, nonton tv, main catur, main gaplek, atau untuk belajar kala ujian.
Suatu pagi di bulan Juli di masa-masa itu, Yopi dan saya yang sama-sama baru bangun tidur memberi hadiah ulang tahun buat saya. “Ini buat elu Lip”. Saya buka, isinya kaset Vivaldi sang musisi violin klasik seri Four Seasons. Saat saya kuliah doktoral Amerika, dia juga kirim “hadiah” ulang tahun. Hadiahnya link video di youtube: Yusuf Islam aka Cat Stevens menyanyikan lagu “Father and Son” di BBC tahun 2007. Dia bilang: “lu jauh sih, ini hadiah ultah link lagu aja, supaya kita ingat bokap kita masing-masing”. Ini link-nya: http://www.youtube.com/watch?v=nG-TUyMW9Qs
Rasanya, Yopi termasuk salah seorang yang kenal saya luar dalam. Sebaliknya, sepertinya saya tidak terlalu kenal dia luar dalam. Dia pendengar yang baik, tapi tidak pernah menceritakan masalah-masalahnya. Mungkin juga karena dia memang tidak pernah punya masalah apapun. Hidupnya lurus, perilakunya baik, murah hati, dan easy going. Semua yang mengenalnya akan setuju bahwa dia adalah orang yang loveable, ringan tangan siap menolong. Ketika saya hendak memutuskan untuk menikah di usia relatif muda, Yopi orang pertama yang saya ajak bicara. Dia mengangguk, lalu tanya apa yang dia bisa bantu. Dan dia memberi bantuan yang nilainya tak terhingga, yang tak perlu saya ceritakan.
Ibu saya suka pada Yopi, istri saya juga. Ketika kakak saya nikah dulu, Yopi ikut sibuk jadi panitia.
Bulan April tahun lalu, saya menemani Ibu saya pulang kampung ke Bukittinggi. Ada sepupu saya menikah. Anak saya Keira yang masih berumur 4 tahun saya bawa serta. Saya beritahu Yopi bahwa saya berdua Keira ke Bukittinggi. Ibu saya sudah berangkat duluan. Yopi was being Yopi, tanya saya gimana transportasi dari Padang ke Bukittinggi. Saya jawab belum tahu. Ternyata, dia minta seorang mahasiswanya menjemput saya di bandara dan mengantarkan saya ke Bukittinggi. Dia sedang ada acara di kampus. Padahal, saya ternyata dijemput saudara di bandara.
Lusanya, Yopi nyetir sendiri ke Bukittinggi, mau ikut hadir dalam acara kawinan sepupu saya itu, sekalian jemput saya dan Keira dan ingin mengantarkan ke bandara. Jadilah kami bertiga dalam mobil.
Yopi ajak mampir ke padepokan sastra Fadli Dzon yang indah di Padang Panjang, Keira senang di sana. Banyak boneka-boneka wayang yang unik. Kami juga dibawa makan sate padang Mak Sukur di Padang Panjang yang terkenal itu. Di sana, Yopi memaksa saya pesan dan minum Teh Talua (Teh Telur). Dengan terpaksa saya pesan, satu teguk pun nggak kuat. Sungguh aneh rasanya, teh dicampur telur. Yopi tertawa terbahak-bahak melihat wajah saya yang menahan rasa aneh Teh Talua. Dia yang akhirnya menghabiskan segelas Teh Talua yang saya pesan itu.
Kami juga mampir di sekolah berasrama yang terkenal, INS Kayutanam. Ini adalah Taman Siswa-nya Sumatera Barat. Didirikan tahun 1926, oleh Muhamad Syafei yang boleh disebut sebagai Ki Hadjar Dewantoro nya orang Minang. Muhamad Syafei adalah mantan menteri pendidikan juga di masa pemerintahan Sjahrir dulu.
Ketika kami sampai di INS Kayutanam, saya menyaksikan betapa guru-guru di sana menyambut gembira kehadiran Yopi. Mereka sangat akrab. Di sana saya baru tahu bahwa Yopi lah yang membantu mereka setup IT system. Pro bono, tak dibayar, sukarela. Saya hari itu sangat terharu mendengar dan melihat apa yang saya saksikan. Pahala akan mengalir terus dari murid-murid INS Kayutanam atas kebaikan Yopi ini. Insya Allah.
Beberapa kali Yopi mengundang saya untuk menjadi pembicara di Unand. Hanya sekali saya bisa hadir. Tahun lalu, Jurusan HI Unand bekerjasama dengan Kementrian Luar Negeri. Saya tidak pernah ke kampus Universitas Andalas sebelumnya. Saat saya tiba dan menginjakkan kaki ke sana, mengertilah saya mengapa Yopi dulu itu bilang pada saya bahwa dia ingin menjadi dosen di Unand.
Kampus Unand, menurut saya, adalah kampus universitas negeri paling cantik di Indonesia. Di atas bukit, bangunan fakultas-fakultas terbuat dari batu hitam yang kokoh dan gagah. Seperti bangunan kampus tua di luar negeri. Pemandangan dari kampus Unand tak ada bandingnya. Ke belakang adalah barisan pegunungan, ke depan adalah laut.
Saya bilang ke Yopi: “baru gw tahu kenapa elu ngotot betul mau jadi dosen di sini”. Saya bilang ke dia: “dengan tempat seindah ini, what else do we need Yop?” Hanya suara tawa terkekeh-kekeh itu yang saya terima sebagai jawabannya.
Yopi adalah tipe orang yang merasa cukup dengan apa yang dia miliki. Tidak pernah minta lebih. Bila umurnya dilebihkan, saya amat yakin dia akan menjadi model intelektual yang menjalani laku asketisme, sederhana, dan rendah hati. Sepanjang saya kenal dia, Yopi bersikap agnostik terhadap hal-hal berbau material. Merasa cukup, karena itu Tuhan mencukupkannya. Yopi juga baru haji, di musim haji yang baru lalu. Sebagai muslim, ia paripurna.
Saat acara hari itu di kampus Unand, gantian saya tanya ke dia: “apa yang bisa gw bantu Yop biar di kampus ini diskusi makin hidup?” Yopi bilang: “perlu resource supaya bisa mendatangkan pembicara-pembicara dari Jakarta, biar bisa diskusi dengan mahasiswa.” Saya bilang saya akan coba lihat apa yang bisa saya usahakan di Jakarta.
Di Jakarta, saya langsung menghubungi bang Jeffrie Geovanie, yang saya tahu peduli dengan kampung halaman Sumatera Barat. Saya kisahkan apa yang saya lihat di kampus Unand dan apa yang menurut saya bisa dan perlu dibantu. Bang Jeffrie setuju untuk ketemu Yopi, maka kami atur waktu Yopi ke Jakarta, saya akan temani.
Semalam sebelum hari-H, bang Jeffrie Geovanie kontak saya menyampaikan bahwa esok pagi mendadak harus ke Singapura, padahal Yopi sudah di pesawat menuju Jakarta. Kata Jeffrie: “begini saja, Philips dan Yopi susul ke Singapura aja, nanti orang kantor saya yang akan urus tiket dan akomodasinya.”
Ternyata tidak mungkin, karena Yopi tidak bawa paspor dan saya juga sedang tidak mungkin pergi jauh. Maka rencana hari itu batal. Tetapi setahu saya, akhirnya Yopi sudah bertemu dengan bang Jeffrie, dan saya belum sempat menanyakan kelanjutannya.
Begitulah. Yopi amat mencintai profesinya sebagai pengajar, di kampung halamannya. Yang selalu dipikirkannya adalah bagaimana memajukan mahasiswa dan kampusnya. Tidak banyak orang yang bisa menemukan dan mencintai pekerjaannya dengan hati sepenuh-penuhnya. Yopi adalah salah satunya.
Notes facebook ini hanya sebuah noktah kecil dari kisah pertemanan dan persahabatan saya dengan Yopi. Kata-kata sepertinya tidak cukup untuk menceritakan semuanya. Saya bersaksi bahwa Yopi tidak pernah menyia-nyiakan masa hidupnya, ia telah membawa manfaat bagi banyak orang dan lurus jalannya.
Bila ada civitas akademika Fisip Unand ataupun jurusan HI Unand membaca notes saya ini, saya ingin sampaikan: I am all yours. Bila diundang ke sana, insya Allah saya akan hadir. Saya ingin meneruskan apa yang dicintai sahabat saya ini.
Alfatihah. Rest in Peace, Yop!
Singapura, 5 Maret 2014
Philips Vermonte