Corporate Warriors dan Perdagangan Senjata Ilegal

Mas Wija, seorang teman yang sedang studi di Georgetown Uni di D.C, bulan lalu mengirim sebuah buku pada saya. Ketika saya tanya berapa lama saya bisa pinjam, dia bilang buku itu memang diberikan pada saya. Baik sekali. Sepertinya Mas Wija tahu buku itu akan menarik hati saya. Judul buku itu Corporate Warriors: the Rise of the Privatized Military Industry (2003), tulisan P.W Singer. Baru seminggu terakhir saya sempat membacanya.

Singer dengan menarik, dan dengan data ekstensif yang dia kumpulkan melalui penelitian lapangan, membahas semakin maraknya bisnis tentara privat, tentara bayaran. Skalanya besar, dalam bentuk korporasi. Private warriors beroperasi dimana-mana, terutama di negara-negara yang kolaps, di kelompok negara weak states atau failed states. Mereka dikontrak oleh aktor negara, dan juga oleh aktor non-negara. Rumit juga.

Sedikit banyak, buku ini mengingatkan pada penelitian saya sendiri. Saya pernah melakukan penelitian singkat bersama peneliti dari Filipina dan Thailand mengenai peredaran senjata gelap di Asia Tenggara. Penelitian ini, (tepatnya preliminary research, karena masih banyak sisi dari isu ini yang tidak kami teliti) sudah diterbitkan oleh CSIS dan The Japan Foundation dengan judul Small (Is) Not Beautiful: the Problem of Small Arms and Light Weapons in Southeast Asia (2004). Saya rasa, perusahaan penyedia jasa private warriors ini pada akhirnya terkait juga dengan peredaran senjata gelap di seluruh dunia. Pedagang senjata dan corporate warriors ini layak kita sebut sebagai merchants of death.

Buku dari Mas Wija saya baca ketika berita penemuan ratusan pucuk senjata api di kediaman almarhum Brigjen Kusmayadi, petinggi TNI Angkatan Darat, muncul menjadi kontroversi hingga hari ini. Ada dua spekulasi mengenai temuan itu. Pertama, bahwa ratusan senjata itu adalah bagian dari bisnis pribadi almarhum. Kedua, ratusan pucuk senjata api itu merupakan bagian dari covert operation yang melibatkan almarhum semasa hidupnya.

Dibandingkan dengan senjata pemusnah massal seperti chemical dan biological weapons misalnya, senjata api organik – jenis yang dikategorikan sebagai Small Arms and Light Weapons – SALW – tidak terlalu banyak menarik perhatian. Padahal, menurut Small Arms Survey 2001, SALW diestimasi sebagai penyebab kematian 500.000 orang di seluruh dunia setiap tahun. 300.000 diantaranya berkaitan dengan konflik bersenjata, sementara 200.000 lainnya berkaitan dengan kriminalitas atau insiden lain. SALW lah sebetulnya weapons of mass destruction.

Berkenaan dengan konflik, studi yang dilakukan Wallensteen dan Sollenberg terhadap 101 konflik internal di seluruh dunia dalam kurun waktu 1989-1996 menemukan bahwa SALW merupakan bagian inheren yang memperparah konflik-konflik tersebut. Hal ini tidak mengejutkan, mengingat SALW sangat mudah diedarkan, dipindah tangankan dan digunakan. Sekedar ilustrasi, UNICEF (1995) melaporkan bahwa senjata jenis AK-47 dapat dengan mudah dibongkar pasang oleh anak-anak berusia 10 tahun. Laporan UNICEF juga menyebutkan bahwa paling tidak ada 300.000 lebih anak-anak dibawah usia 18 tahun yang berperang di garis depan sebagai milisia dalam berbagai konflik berdarah di seluruh dunia.

Keadaan diperburuk oleh kenyataan bahwa akses kepada senjata api tidak hanya dimiliki oleh aktor negara, tetapi juga oleh aktor-aktor non-negara, baik melalui pasar legal maupun ilegal. Persis seperti corporate warriors yang diteliti P.W Singer itu.

Pada dasarnya, SALW diproduksi secara legal oleh perusahaan-perusahaan pembuat senjata atau melalui mekanisme pemberian lisensi. PINDAD di Bandung, misalnya, memegang lisensi senjata jenis FN dari Belgia. Namun, ada banyak celah dari life-cycle sebuah senjata yang diproduksi secara legal tersebut, yang membuatnya berubah sifat menjadi ilegal. Beberapa celah itu diantaranya adalah perdagangan ilegal, dan tidak memadainya stock-pile management dari senjata-senjata milik aktor-aktor negara yang memegang monopoli penggunaan kekerasan, seperti institusi militer dan kepolisian.

Perdagangan senjata illegal didefinisikan oleh Komisi Perlucutan Senjata PBB sebagai “ [trade] which is contrary to the laws of States and/or international law”. Definisi ini memunculkan kemungkinan dua jenis pasar senjata ilegal: grey market dan black market. Grey market merujuk pada situasi dimana perdagangan terjadi dengan sepengetahuan pemerintahan nasional, walaupun mungkin melanggar aturan internasional. Sementara black market merujuk pada perdagangan yang terjadi sepenuhnya di luar kontrol pemerintahan nasional.

Kasus penemuan senjata di kediaman Brigjen Kusmayadi itu menunjukan beberapa persoalan serius. Pertama, persoalan persenjataan TNI. Sejauh ini, mekanisme stock-pile management senjata TNI (dan juga Kepolisian) belum menjadi obyek kontrol dari DPR. Di negara tetangga seperti Kamboja, stock pile management menjadi subyek transparansi publik lewat parlemen, terutama disebabkan oleh trauma yang ditinggalkan oleh kekerasan tentara Khmer Merah dan Pol Pot di tahun 1970-an dulu. Bila penemuan itu belakangan terbukti merupakan ‘permainan’ internal TNI AD untuk mendiskreditkan almarhum atau pihak lain, kekhawatiran terhadap mekanisme stock-pile senjata TNI tentu semakin memuncak. Karena dengan mudahnya ratusan senjata dipindahkan ke kediaman Brigjen Koesmayadi.

Kedua, persoalan manajemen keamanan nasional. Senjata-senjata organik yang ditemukan merupakan jenis-jenis yang biasa digunakan dalam low-intensity conflict, seperti perang internal anti separatisme.. Bila benar, keberadaan senjata tersebut tentu datang dari grey, bukan black market. Karena, ada elemen negara atau elemen di dalam TNI AD, mengetahui proses pengadaan senjata-senjata tersebut dan menggunakannya untuk menghadapi gerakan separatisme atau konflik lain.

Dalam konteks demikian, penemuan senjata itu juga menunjuk pada satu persoalan penting: apakah pengadaan dan penggunaan senjata-senjata itu sejalan dengan kebijakan nasional dalam menghadapi low intensity conflict? Misalnya, ketika pemerintahan Habibie memutuskan pelaksanaan opsi referendum untuk Timor Timor tahun 1999, Megawati mencoba bernegosiasi damai di Aceh, atau pemerintahan SBY-JK memilih jalan damai di Aceh dan Papua: siapa yang memutuskan pengadaan, dan juga penggunakan senjata-senjata yang ditemukan itu, baik dalam overt ataupun covert operation, yang kemungkinan akan bertentangan dengan kebijakan formal damai pemerintah tadi?

Temuan itu juga menunjukan bahwa manajemen perumusan kebijakan keamanan nasional kita belum terkoordinasi. Model terdekat untuk membangun sebuah sistem koordinasi kebijakan keamanan nasional adalah pembentukan dewan keamanan nasional (national security council). Penemuan senjata itu menunjukan bahwa persoalan keamanan nasional kita ditangani oleh institusi-institusi berbeda, dengan policy yang terserak. Ketiadaan sebuah lembaga semacam national security council menjadikan berbagai kebijakan keamanan lebih banyak bersifat reaktif. Hal ini antara lain tercermin dari banyaknya covert operation, dan pengadaan, penyimpanan dan penggunaan senjata yang abnormal, seperti penemuan senjata di kediaman pejabat TNI itu.

Ketiga, apabila kemudian terbukti senjata-senjata tersebut merupakan bisnis pribadi almarhum Brigjen Kusmayadi, itu juga membuktikan kekhawatiran banyak pihak mengenai bisnis ilegal oleh elemen-elemen TNI. Departemen Pertahanan telah menunjukan kemajuan cukup berarti dalam penanganan bisnis-bisnis legal TNI. Akan tetapi, tanpa langkah-langkah konkret untuk menghentikan praktik-praktik bisnis ilegal oleh elemen TNI, keinginan untuk membentuk TNI yang profesional dan tidak terdistorsi loyalitas-nya akan sulit dicapai. Sepertinya tidak ada opsi lain, penemuan senjata tersebut harus diselidiki tuntas, dan hasilnya disampaikan kepada publik.

6 Tanggapan to “Corporate Warriors dan Perdagangan Senjata Ilegal”

  1. Dicky Says:

    Bung, boleh dong pinjem bukunya. Hehe. Mungkin salah satu faktor yang juga harus menjadi konsiderasi utama adalah adanya friksi laten di antara korps angkatan di dalam TNI. Ini hanya asumsi gua aja sih, Bung, karena sepertinya langkah penting yang harus dilakukan di samping membentuk national security council adalah juga memperhatikan bagaimana distribusi kesejahteraan TNI itu dapat disebar secara merata.

    Kita tahu bahwa saat ini AD sangat gemuk, even after the fall of Soeharto. Meanwhile, other corps don’t enjoy the same portion. Kalaupun mau memakai pola top-down dengan membentuk sebuah national security council, tentu langkah bottom-up nya juga harus ditegakkan dengan cermat. Bisnis2 senjata itu harus diberangus dari akar2nya. Karena TNI juga memakai sistem senioritas, maka eselon-eselon di ataslah yang mungkin punya bargaining position yang bagus buat ngelaksanain itu. Tapi saya tetap menunggu bagaimana keseriusan Pak Juwono untuk menangani masalah ini, Bung. Gue optimis ada titik cerah.

    Ditunggu analisis2 dari ente nih, Bung. Sejak munculnya kasus Brigjen Koesmayadi, sepertinya enggak ada satupun yang membahas masalah ini dari sudut pandang Small Arms and Light Weapons di koran2 (atau gue kurang baca yak? hehe). Kirim dong barang satu-dua ke media lokal. Atau ni postingan aje dikirim? Hehe.

  2. Babe Says:

    Gue setuju ama Dicky, tapi gue melihatnya bukan friksi antar korps angkatan di dalam TNI, tapi persaingan kelompok2x di TNI AD itu sendiri. Lha yg ngasih tahu kalo ada senjata, sama ngirim dokumen2x ke DPR ya pastinya orang dalem TNI AD sendiri.

  3. abgaduh Says:

    Dicky: Saya setuju – Bung Philips, ide baik tuh untuk kirimkan analisis a la “Small is (not) beautiful” ke koran lokal.

  4. philips vermonte Says:

    wah nggak bisa bung Arya and Dicky…kalo nulis di koran, ntar gw dihujat oleh sesama pedagang senjata…bisnis kite bisa bubar…he..he

  5. Dicky Says:

    hahaha…bise aje ente…kan yang ditulis cuman yang kecil2nye aje bung…bandar gede mah tetep idup…kalo di-TO juga, makan lewat mane kite ntar? hehe.. ditunggu lah pokoke kemunculan sharp analysis-nya, gue miskin sumber small arms nih disini buat bahan thesis, kali-kali aje ente ada data2 barang baru yang baru turun dari kapal masuk ke bandar. hehe.

  6. kuyazr Says:

    senjata-senjata, baiknya dilebur di Cilegon…hehee…buat nambal lumpur di Sidoarjo…hehehee…buat tiang2 rumah yang kena musibah…hehehe…

Tinggalkan komentar